MALANG, Berifakata.com – Bahasa Korea, sebagai bahasa nasional yang digunakan di Korea Utara dan Selatan, memiliki peran penting dalam membangun ulang identitas dan peleburan budaya antara kedua negara yang telah terpisah oleh sekat-sekat politik negara. Meskipun terdapat perbedaan dialek dan kosakata, bahasa Korea menjadi jembatan penghubung yang memperkuat rasa persatuan dan identitas bersama sebagai bangsa Korea.
Pengantar tersebut disampaikan oleh Prof. Mi Yung Park, seorang pakar kebahasaan dan kebudayaan Korea dari University of Auckland, dalam kelas Kajian Kawasan Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Kelas ini merupakan hasil kerjasama Prodi HI UMM dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Dalam kelas yang bertemakan “Linguistic Diversity and Discrimination in South Korea” ini, Prof. Mi Yung Park mengungkapkan bahwa bahasa dapat menjadi medium yang menjembatani Korea Selatan dan Korea Utara.
“Berdasarkan pengalaman saya, orang-orang yang berasal dari Korea Utara tidak mau mengaku secara terang-terangan mengenai identitas asli mereka dalam kelas ataupun proyek penelitian. Mereka cenderung berusaha melebur dengan kelompok tanpa memandang latar belakang identitas masing-masing,” ungkap Prof. Mi Yung Park.
Prof. Mi Yung Park menekankan bahwa fenomena ini tidak lepas dari adanya diskriminasi yang masih dialami oleh masyarakat Korea Utara di Korea Selatan. Diskriminasi ini dapat berwujud dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kesempatan kerja, pendidikan, hingga penerimaan sosial.
“Pengalaman diskriminasi ini mendorong individu dari Korea Utara untuk menyembunyikan identitas mereka. Mereka berusaha untuk beradaptasi dengan budaya Korea Selatan dan menghindari stereotip negatif yang sering dikaitkan dengan warga Korea Utara,” jelas Prof. Mi Yung Park.
Akan tetapi, di sisi lain, bahasa Korea juga dapat menjadi alat untuk mengatasi diskriminasi dan membangun pemahaman yang lebih baik antara kedua masyarakat. Melalui interaksi dan komunikasi yang lebih intensif, stereotip dan stigmatisasi dapat dikurangi, membuka jalan bagi rekonsiliasi dan integrasi yang lebih harmonis.
“Bahasa Korea memiliki potensi untuk menjadi titik temu antara Korea Selatan dan Korea Utara. Dengan memahami bahasa dan budaya satu sama lain, kita dapat membangun jembatan pemahaman dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif,” tutup Prof. Mi Yung Park. (*)