MALANG, Berifakta.com – Kemajuan kebudayaan dan teknologi tidak menutup kemungkinan bagi Korea Selatan untuk menghadapi tantangan di sepanjang perjalanannya. Tekanan hidup yang berat membuat angka bunuh diri di Korea Selatan sangatlah tinggi, terutama di kalangan usia produktif. Permasalahan tersebut dipaparkan olehHyein Ellen Cho, pakar Studi Korea dari Monash University, dalam serial kelas Kajian Kawasan dalam Hubungan Internasional yang bertajuk “Contemporary Social Issues in Korea: Challenges and Opportunities”.
Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Dalam paparannya, Hyein Ellen Cho, pakar Studi Korea dari Monash University, menyebut tekanan hidup multidimensi sebagai akar masalah. “Kombinasi tekanan akademik ekstrem, kesenjangan gender yang lebar, dan persaingan kerja yang tidak sehat menciptakan lingkungan yang menggerogoti kesehatan mental generasi muda,” ujarnya merujuk data OECD yang mencatat 31.5% kesenjangan upah gender di Korea Selatan—terburuk di antara negara anggota.
Cho juga menyoroti budaya “no-seniors zones” yang semakin marak, di mana lansia dilarang masuk ke kafe atau pusat perbelanjaan. “Ini ironis, mengingat 20% populasi Korea sudah berusia di atas 65 tahun. Diskriminasi usia justru memperparah isolasi sosial,” tambahnya.
Selain tekanan akademik dan kesenjangan gender, Hyein Ellen Cho juga menggarisbawahi krisis demografis yang kian mengkhawatirkan. “Tingkat fertilitas Korea Selatan yang hanya 0,7 pada 2024—terendah di dunia—mempercepat penuaan populasi. Namun, masyarakat masih gagal memberikan ruang bagi lansia, bahkan cenderung mengucilkan mereka,” paparnya. Data dari OECD menunjukkan bahwa 45% lansia Korea hidup di bawah garis kemiskinan, memperparah risiko depresi dan bunuh diri di kelompok usia tersebut.
Isu multikultural juga muncul sebagai tantangan baru. Meski populasi warga asing telah melebihi 5%, diskriminasi sistemik masih terjadi. “Contohnya, penginapan Korean-only yang menolak wisatawan asing, atau museum yang membatasi akses program bagi non-Korea dengan alasan hambatan bahasa. Ini bertolak belakang dengan narasi pemerintah tentang masyarakat multikultural,” kritik Cho, merujuk kasus pengusiran pekerja asal Amerika Serikat karena warna kulit pada 2014 yang viral di media sosial.
Meski dibayangi tantangan multidimensi, Korea Selatan menunjukkan komitmen untuk bertransformasi. Inisiatif seperti “Digital Mental Health Platform” dan “Silver Job Matching Program” menjadi bukti upaya konkret mengatasi krisis kesehatan mental dan pengucilan lansia. “Teknologi bukan hanya untuk kemajuan ekonomi, melainkan juga harus menjadi solusi kemanusiaan,” tegas Hyein Ellen Cho. (*)