MALANG, Berifakta.com – Dalam serial Eurasia Lecture bertema “Why a New Community Now? Its Necessity and Meaning”, Prof. Chung Jon-Koon dari Meiji University, yang juga peneliti senior Eurasia Foundation, menegaskan bahwa pembentukan komunitas baru adalah kebutuhan mendesak di tengah menguatnya individualisme dan memudarnya fungsi komunitas tradisional. Kegiatan ini menghadirkan Dianni Risda., M.Ed dari UPI sebagai penerjemah sehingga gagasan utama tersampaikan secara utuh kepada mahasiswa.
Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Prof. Chung membuka paparannya dengan menekankan tiga prinsip yang menjadi roh Eurasia Foundation: siapa pun dari negara mana pun dapat bergabung, tidak memandang agama, serta menerima perubahan dan keberagaman. Ia menyebut komunitas yang sehat bertumpu pada keterkaitan antaranggotanya, berbagi nilai serta visi-misi yang sama. Menurutnya, manusia hidup dalam ekosistem komunitas—keluarga, sekolah, tempat kerja, sampai negara—dan satu individu kini bisa menjadi bagian dari 30–40 komunitas sekaligus. Ironisnya, individualisme justru kian menguat, sementara komunikasi di dalam komunitas melemah, sehingga banyak komunitas kehilangan peran aslinya.
Berangkat dari kondisi ini, Prof. Chung menjelaskan bahwa komunitas baru kerap lahir karena terbatasnya ruang dalam komunitas lama dan dorongan perubahan yang tak terelakkan. Ia mengibaratkan masyarakat seperti tubuh dengan jutaan sel yang terus beregenerasi. Agar “tubuh” tetap sehat, sel-sel harus beradaptasi; komunitas yang menolak perubahan akan rapuh dan perlahan hancur. Perubahan dan keberagaman, lanjutnya, justru menciptakan pola hidup baru dan membuat komunitas lebih dinamis.
Prof. Chung juga menyinggung rasa putus asa yang membayangi masyarakat modern. Fokus publik kerap tertuju pada kematian akibat perang, kriminalitas, atau kecelakaan, padahal bunuh diri adalah masalah senyap yang menandai bahwa ekosistem komunitas gagal memberi makna dan penopang hidup bagi anggotanya. Menurutnya, komunitas yang hadir, peka, dan komunikatif dapat menjadi ruang pemulih yang mencegah keputusasaan meluas.
Mengambil contoh global, Prof. Chung menyebut Amerika Serikat tumbuh besar karena merayakan keberagaman; kontribusi signifikan para migran pada ratusan perusahaan besar menjadi cermin bahwa perubahan dan keberagaman adalah prasyarat ketangguhan komunitas. Pada saat yang sama, Indonesia dinilai memiliki peluang menjadi negara besar asalkan mau melihat dunia dari berbagai perspektif, tidak terpaku pada satu lensa negara tertentu. Mengumpulkan data itu penting, namun kebenaran baru tampak ketika data ditelaah dari beragam sudut pandang; melihat dari satu perspektif saja rawan memicu konflik dan kesalahpahaman.
Menutup sesi, Prof. Chung menegaskan bahwa memahami “mengapa” komunitas baru dibutuhkan sekarang akan menuntun pada “bagaimana” mendefinisikan maknanya serta merawat keberlanjutannya. Komunitas yang sadar tujuan, menjaga komunikasi, dan merangkul perubahan serta keberagaman, menurutnya, adalah fondasi masyarakat yang lebih resilien untuk menghadapi krisis masa kini maupun tantangan yang akan datang. (*)

