MALANG, Berifakta.com – Hubungan antara pariwisata, pekerjaan, dan imigrasi di Korea Selatan menjadi topik utama yang dibahas oleh Havidz Ageng Prakoso, M.A., dalam kelas bertajuk “Tourism, Works, and Immigrants in South Korea”. Kelas ini merupakan hasil kerjasama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Dalam pemaparannya, Havidz mengungkapkan bahwa konsep global cosmopolitanism menggambarkan integrasi masyarakat dunia serta peningkatan perpindahan orang dari satu negara ke negara lain demi mencari kehidupan dan kenyamanan yang lebih baik. Ia menjelaskan, “Sebelum tahun 1945, Korea Selatan masih berada di bawah kekuasaan Jepang (1910-1945), yang menyebabkan ketidakstabilan politik di Korea. Banyak warga Korea yang berusaha meninggalkan negara tersebut demi mencari keamanan dan pendidikan yang lebih baik, terutama ke Amerika Serikat, Meksiko, Hawaii, dan Kanada.”
Setelah tahun 1945, Korea memasuki fase Perang Korea yang kemudian menyebabkan terpecahnya Korea menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan, akibat perbedaan ideologi. Pada masa Perang Dingin, warga Korea Selatan mulai bermigrasi ke berbagai negara seperti Tiongkok dan Singapura, menyusul stabilnya ekonomi Korea yang berkembang pesat sejak tahun 1980-an. “Meskipun demikian, migrasi ke Amerika Serikat mulai menurun seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi di Korea Selatan,” tambahnya.
Havidz juga menyoroti kebijakan imigrasi di Korea Selatan, di mana visa turis hanya berlaku maksimal satu bulan, sedangkan visa kerja diberikan dengan waktu tertentu yang terbatas. Pemerintah Korea Selatan mengatur ketat proses naturalisasi untuk mencegah konflik horizontal. “Meskipun naturalisasi melalui pernikahan dengan warga lokal umum terjadi, pemerintah Korea tetap membatasi jumlah naturalisasi untuk menjaga kestabilan sosial,” jelas Havidz. Pemerintah juga menyediakan program pendidikan multikultural bagi keluarga yang mengalami naturalisasi, termasuk pendidikan bahasa Korea dasar.
Salah satu daya tarik utama bekerja di Korea Selatan adalah gaji yang menjanjikan, dengan rata-rata penghasilan antara 1.000 hingga 1.500 USD per bulan. Havidz menyatakan, “Para pekerja di Korea Selatan memiliki kesempatan untuk menabung sekitar 30-37% dari penghasilan mereka.” Selain itu, Korea Selatan dikenal sebagai negara yang melindungi hak-hak pekerja dengan kebijakan anti-diskriminasi yang ketat.
Di samping itu, Havidz juga membahas lima alasan utama mengapa orang tertarik untuk berkunjung ke Korea Selatan, yaitu: (1) budaya Korea Selatan yang kaya dengan warisan peninggalan kerajaan dinasti Joseon, (2) kuliner Korea yang populer di kalangan anak muda, terutama street food, (3) peluang berbelanja di berbagai pusat perbelanjaan ternama, (4) keindahan alam Korea Selatan, terutama di Pulau Jeju, dan (5) transportasi publik yang efisien dan mudah diakses.
“Korea Selatan menjadi destinasi menarik, tidak hanya untuk bekerja melainkan juga untuk menikmati keunikan budaya, alam, dan modernitas yang ditawarkannya,” tutup Havidz dalam kelas tersebut. (*)