MALANG, Berifakta.com – Mantan Teroris biasanya berhubungan dengan masalah sosial dan ekonomi. Masalah sosial karena adanya stigma yang berkembang di masyarakat. Masalah ekonomi pun juga menjadi salah satu permasalahan bagi teroris, mulai dari masa penahanan hingga setelah keluar dari masa penahanan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ali Fauzi, saudara kandung Ali Imron yang merupakan bomber Bom Bali, dalam diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) untuk kebutuhan Penelitian Fundamental – Reguler: Penelitian Kompetitif Nasional yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Penelitian tersebut bertajuk “Model Comprehensive Collaboration: Deradikalisasi Mantan Teroris di Jawa Timur Melalui Pendekatan Sosial dan Ekonomi“. Studi ini dipimpin oleh tim peneliti yang terdiri dari Prof. Gonda Yumitro, Ph.D, Dr. Rizki Febriani, M.M, dan Ali Roziqin, M.PA.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang berlangsung pada Rabu, 25 September 2024, Ali Fauzi, saudara kandung Ali Imron, bomber Bom Bali, memaparkan pandangannya terkait permasalahan sosial dan ekonomi yang kerap dialami oleh mantan teroris.
Ali Fauzi menyebutkan bahwa stigma sosial dari masyarakat menjadi tantangan utama bagi mantan teroris untuk berintegrasi kembali. Di samping itu, masalah ekonomi pun tak kalah berat, baik selama masa penahanan maupun setelah mereka dibebaskan. Kesulitan mencari pekerjaan dan mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat menjadi penghalang utama dalam kehidupan mereka.
Lingkar Perdamaian, sebuah yayasan yang didirikan oleh Ali Fauzi, hadir sebagai upaya pemberdayaan anak dan istri mantan teroris, serta menjadi salah satu sarana deradikalisasi dan reintegrasi sosial pasca penahanan. Lembaga ini memiliki tujuan jangka panjang untuk membantu mantan teroris kembali ke masyarakat secara produktif dan konstruktif.
Dalam FGD tersebut, Ali Fauzi juga menekankan pentingnya memahami motif yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam aksi terorisme. Ia menyebut bahwa motif-motif tersebut bervariasi, mulai dari dukungan moral berupa ideologi hingga dukungan material seperti bantuan pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kuatnya hubungan persaudaraan dalam kelompok teroris sering menjadi alasan mengapa seseorang sulit keluar dari lingkaran radikal ini.
Radikalisasi, menurut Ali Fauzi, adalah proses yang panjang dan terkonstruksi berdasarkan pemahaman agama yang fundamental. Sementara itu, deradikalisasi membutuhkan waktu yang lama untuk mengajarkan penghormatan dan penghargaan terhadap keberagaman agama.
Meski begitu, tantangan terbesar di Indonesia adalah proses reintegrasi, yang sering dianggap sebagai kemurtadan oleh kelompok radikal. Untuk itu, Ali Fauzi menekankan perlunya pendekatan yang lebih halus dan strategis dalam program-program deradikalisasi, khususnya dalam menanamkan bahwa Indonesia adalah negara yang damai dan bahwa aparat negara adalah kawan, bukan musuh.
Acara FGD yang digelar di Laboratorium Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang tersebut juga menghadirkan para mahasiswa yang turut menyampaikan pandangan mereka tentang terorisme. Mereka menggarisbawahi pentingnya studi lanjutan tentang motivasi terorisme di Indonesia, yang menurut mereka masih sangat beragam dan kerap menyasar berbagai kalangan, termasuk kalangan akademis. Prof. Gonda Yumitro menyatakan bahwa hasil FGD tersebut akan diintegrasikan menjadi grand design policy brief tentang penganggulangan terorisme. (*)