Yogie Mochamad atau juga dikenal dengan panggilan “Yogie Ahmad” bukan orang baru di ranah sosio-politik Purwakarta. Ia pernah punya tapak. Diantaranya, yang sempat ter-rekam di memori publik Purwakarta, adalah bahwa ia pernah bertarung di kontestasi Pilkada Purwakarta 2008. Berpasangan dengan eks Wakil Bupati incumbent saat itu, Dudung B. Supardi. Keduanya, kala itu, punya nama koalisi : “Dugi” (Dudung – Yogie).
Di tahun 2023, ia comeback. Yogie berlabuh ke Partai Golkar. Segera setelah bergabung, ia diamanahi posisi Ketua Umum Kosgoro 57. Organisasi “old school” di tubuh Partai Golkar. Organisasi yang secara akar sejarah merupakan pendiri Golkar.
Sebagai bagian dari entitas publik Purwakarta, ada beberapa catatan penting yang saya kira perlu disematkan, yaitu pertama, bahwa Yogie bukan orang (politik) baru alias new comer. Namun, kedua, terlepas dari pengalaman politiknya, Partai Golkar Purwakarta adalah arena yang kompleks sekaligus rumit. Lebih khusus pada hiruk-pikuk konstelasi yang berkembang saat ini. Maka, menarik untuk disoal : apakah Yogie adalah energi baru yang mampu mewarnai Partai Golkar Purwakarta?
Pebisnis dan Profesional : Apakah Bisa Menjadi Pembeda?
Sepanjang jejak data dan catatan (-catatan) yang dapat diakses publik, Yogie adalah sosok pebisnis dan profesional. Ia pengusaha tambang yang telah exist puluhan tahun. Bukti konkret bahwa ia konsisten sekaligus ber-komitmen terhadap apa yang dilakoninya.
Secara jejak rekam personal, ia pun masih tanpa cela. Jauh dari olah-olah kolusi. Bersih dari skandal. Hal ini penting diposisikan sebagai petanda (signifier) kepemimpinan. Apalagi, jika orientasinya adalah ke-baru-an. Diketahui, tanpa modal moral yang memadai, sulit untuk membelah mana yang “lama” dan mana yang “baru”. Sedangkan “baru” itu sendiri lekat dengan penekanan kualitas yang lebih baik–ketimbang yang sebelumnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kedua modal dasar tersebut memadai bagi Yogie di ranah dinamika Golkar Purwakarta khususnya, dan ke-politik-an Kabupaten Purwakarta pada umumnya?
Baca Juga: Menakar Peluang dan Tantangan Gerakan Dakwah Bagi Generasi Milenial Pada Era Transformasi Digital
Jawabannya : tentu saja “tidak” ketika kedua modal tersebut tidak di-uji-kan di lapangan politik. Artinya, perlu ada praktek-praktek (exercise) politik ber-tendensi “baru” yang ditunjukkan Yogie. Sehingga, publik bisa ‘membaca’ sekaligus menyaksikan langsung ke-baru-an yang menjadi faktor pembeda.
Membangun Data Publik Akurat?
Purwakarta, terlepas dari banyak prestasi yang sempat didapat, diliputi banyak problematika. Jika harus disebut, salahsatunya adalah ihwal data publik yang akurat. Hingga sejauh ini, kita belum melihat semacam “big data” ber-skala kabupaten yang menjadi dasar pembangunan daerah. “Big data” yang menampilkan informasi dasar, lebih khusus terkait isu kesejahteraan rakyat Purwakarta.
Tanpa data ber-akurasi memadai, sulit bagi Kabupaten Purwakarta untuk sampai pada level sekaligus capaian yang melampaui kondisi saat ini (existing). Sebaliknya, kemungkinan terbesar adalah terciptanya kondisi status-quo berkelanjutan. Situasi yang tentu saja kontra-produktif dalam konteks pembangunan daerah Purwakarta.
Hasil-hasil penelitian berbasis temuan lapangan (field evidence) menunjukkan hasil bahwa tanpa basis data yang ajeg, aksi pembangunan berujung implikasi negatif : mulai dari misalokasi anggaran, program tidak tepat sasaran, korupsi dan pada akhirnya kegagalan pembangunan (failed develpoment) itu sendiri (Arsyad, et.al : 2019). Sjaf (2022) menegaskan pola yang bisa dipahami dalam kerangka sebab-akibat. Yaitu : data semu/tidak akurat (pseduo-data) menghasilkan pembangunan semu (pseudo-development). Seakan-akan pembangunan mencapai keberhasilan. Padahal, sesungguhnya bias atau malah gagal sama sekali.
Baca Juga: Bagaimana Implementasi Kurikulum Merdeka pada Jejang Sekolah Dasar?
Tentu saja, situasi ini harus disudahi. Dan untuk menyudahinya jelas diperlukan orang dan/atau kelompok yang dalam kerangka pikir Gramsci dikenal sebagai “intelektual organik”. Atau, dalam pengertian Bourdieu, disebut “intelektual kolektif” (Sjaf, 2022).
Apakah Yogie Mochamad akan hadir secara sadar dan partisipatif dalam barisan kebaruan berkemajuan ini? Patut ditunggu. Selebihnya, adalah bergerak dan bekerja dalam barisan yang rapi, solid dan teratur.
Wallahu’alam bis showab. Di lapangan kita buktikan!
Oleh : Widdy Apriandi
(Direktur Eksekutif Lingkar Studi Pembangunan Purwakarta, saat ini dalam studi Pasca Sarjana – IPB University)