Oleh: Nuur Wachid Abdul Majid
Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan diri, terlebih dengan padatnya aktivitas yang membutuhkan penyegaran agar tidak terlalu stres. Sebelum kemunculan media sosial dan beberapa aplikasi lainnya, sebagian besar masyarakat lebih memilih mengeksperesikan dirinya dengan menulis di diary, membaca buku atau novel, bermain game, rekreasi, silaturahmi, dan banyak hal kegiatan lainnya. Sehingga kegiatan tersebut digunakan untuk melampiaskan segala permasalahan dan sedikit melonggarkan ketegangan pada dirinya.
Semenjak masifnya teknologi dalam masyarakat, maka penggunaan teknologi atau gawai (gadget) pun sangat tinggi bagi masyarakat. Bahkan banyak orang mudah viral dan menjadi selebgram dadakan hanya karena kemudahan mengakses sebuah informasi. Selain itu, berita-berita tidak benar atau hoax pun mudah sekali diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, dampak masifnya penggunaan teknologi dan mindset masyarakat yang pada dasarnya ingin diakui keberadaannya oleh orang lain, maka tidak sedikit orang berbondong-bondong “memperkenalkan” dirinya dengan berbagai macam cara melalui media sosialnya.
Karakter manusia yang ingin diakui dan kemudahan dalam mengekspresikan diri melalui media sosial mengakibatkan banyak sekali tayangan-tayangan yang mudah viral itu lantas diikuti oleh sebagian masyarakat. Ambil contoh adalah aplikasi yang sudah booming hingga saat ini, yaitu Tiktok. Sebagian besar masyarakat di Indonesia mengenal aplikasi ini dan memakainya dengan berbagai macam tujuan. Bahkan rela mempermalukan dirinya di depan publik agar dia terkenal atau viral. Hal inilah yang terjadi pada kondisi masyarakat saat ini.
Permasalahan di sini adalah apakah wabah atau aplikasi tiktok ini menandakan penurunan akhlak masyarakat? Perlu kita kaji secara mendalam sebuah esensi dibuatnya aplikasi ini dan kembali kepada pembahasan awal, bahwa manusia pada intinya memerlukan tempat untuk ekspresi diri, sehingga ada hubungan antara sebuah aplikasi dan ekspresi diri seseorang. Namun terkadang ekspresi diri tersebut dirasa sangat berlebihan, apalagi sangat bertentangan dengan budaya ketimuran yang sangat berbeda dengan masyarakat barat.
Budaya timur lebih mengutamakan adab dan norma daripada kepuasan diri, hal inilah yang harus digaris bawahi oleh masyarakat. Berbeda dengan budaya barat yang lebih mementingkan kepuasan diri asal tidak mengganggu orang lain, walaupun bentuk ekspresi diri tersebut harus dilakukan di depan publik. Sehingga tidak heran apabila kita melihat beberapa masyarakat tersebut mengekspresikan dirinya di publik, sedangkan tidak ada satu pun warga yang menegurnya. Mengapa hal ini terjadi, karena kembali lagi bahwa budaya barat itu memberi kebebasan kepada semua orang asal tidak mengganggu orang lain, ini prinsipnya.
Permasalahan yang perlu kita kaji adalah sekarang norma adat ketimuran sudah terkontaminasi oleh budaya bangsa lain. Orang lebih vulgar mengekspresikan dirinya dengan alasan bahwa ini akun pribadinya dan berhak mengekspresikan dengan bentuk apa pun asal tidak mengganggu orang lain. Bahkan ketika ada teguran, orang-orang tersebut marah dan bahkan menyampaikan untuk meninggalkan akunnya (unfollow dalam salah satu medsos) karena dianggap bahwa orang tersebut merasa memiliki kebebasan dalam menggunakan akun media sosial tersebut. Kerancuan pola pikir inilah yang perlu diluruskan oleh para pendidik, karena pemikiran ini sudah melenceng dari norma adat ketimuran yang lebih memprioritaskan adab diri yang layak dipandang oleh orang lain.
Selain permasalahan adab, muncul juga beberapa isu yang sekarang sedang viral, yaitu mengenai LGBT. Secara HAM memang setiap orang memiliki kebebasan berekpresi tanpa ada yang membatasi, namun secara pandangan Agama Islam hal ini sangat bertentangan. Munculnya paham-paham dan kebiasaan dari luar juga cukup liar masuk melalui teknologi yang cukup banyak dikonsumsi oleh masyarakat.
Sehingga tantangan dakwah sekarang semakin luas dan harus ditangani secara serius oleh para Mubaligh/Mubalighat. Pendekatan terhadap kaum muda tidak hanya dengan memberikan bekal ilmu agama, melainkan harus menanamkan pemahaman terkait penerapan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pada kajian psikologi yang dijelaskan oleh Dr. Bagus Riyono, M.A., Presiden International Association of Muslim Psychologist (IAMP) dan Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada, menerangkan bahwa terdapat penyakit psikologis modern yang menjangkiti masyarakat saat ini. Penyakit itu adalah sensing culture. Bagus Riyono menjelaskan bahwa Sensing culture ini tidak memikirkan perasaan orang lain, melainkan hanya memikirkan dirinya sendiri dan otomatis kecerdasan emosinya turun. Bahkan orang yang mengalami sensing culture tersebut masuk kategori sesaat, senang dan tidak bermakna.
Sebagai contoh adalah orang melakukan joget-joget menggunakan suatu aplikasi atau bercanda dengan orang lain bahkan candaannya kelewatan, namun setelah itu mereka akan merasakan kekecewaan atau sedih ketika mengingat sesuatu. Jadi aksi joget-joget, ketawa, bercanda tersebut tidak ada maknanya.
Menurut Bagus Riyono, orang yang terkena sensing culture biasanya akan kehilangan jiwa atau mengalami kekosongan jiwa. Orang tersebut melakukan aksi-aksi tersebut hanya sebatas mementingkan kepuasan sendiri dan mengabaikan berbagai macam norma atau hal yang dilarang oleh agama. Selain itu, orang tersebut di dalam jiwanya akan tertutup level reasoning, yaitu upaya jiwa untuk mencari sebuah alasan atau tujuan suatu hal yang akan dilakukan.
Pada level ini, orang akan mencoba mencari alasan positif dan negatifnya melakukan kegiatan tersebut. Seperti contoh, orang mencoba membuat prank kepada orang lain. Lantas jiwanya akan mencoba bertanya-tanya pada dirinya, apa manfaat dari prank ini pada dirinya dan orang lain. Setelah level ini akan masuk ke dalam level empati, yaitu merasakan keresahan orang lain. Seperti kasus prank tadi, orang yang berempati akan merasakan kesusahan orang yang kena prank. Dengan demikian level empati seseorang tersebut masih berfungsi dengan baik.
Level terakhir pada seseorang adalah spiritual, pada level inilah puncak dari ketenangan dan kedalaman jiwa. Pada dasarnya orang yang sakit, biasanya level spiritual ini masih tertutup sehingga tidak mampu mencoba berpikir secara mendalam mengenai cara mengatasi sebuah masalah yang menderanya.
Dengan demikian, apakah terjangkitnya wabah sensing culture dikalangan Masyarakat Indonesia adalah bentuk kegagalan pendidikan karakter? Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi para Mubaligh, guru, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk segera mengurangi wabah ini. Terlebih pengaruh teknologi sangatlah kuat, sehingga tantangan besar dalam dakwah di era abad 21 ini. Justru diri kita juga harus memberikan panutan kepada para anak muda, jangan sampai kita sebagai orang tua malah mengikuti arus budaya yang tidak baik bagi bangsa ini dengan alasan mengikuti tren.
Bahkan sangat miris para guru/ustadz/orang tua membuat “joget-joget” yang nampaknya tidak elok dipandang sebagai seorang panutan dimata anak-anak dan orang lain. Para Guru harus menjaga muru’ah atau kehormatannya dan mengesampingkan rasa “pamer diri” yang berlebihan agar diakui oleh orang lain. Walaupun sebenarnya kita boleh saja mengekspresikan dirinya di media sosial atau di tempat lain dengan catatan sewajarnya.
Para Mubaligh/Mubalighat juga harus bersinergi dengan lapisan masyarakat dan pemerintahan untuk terus membuat regulasi yang tepat agar generasi muda tidak mudah terdistraksi oleh beragam tontonan. Tantangan dakwah saat ini juga dirasakan oleh para orang tua yang harus sekuat tenaga menjaga generasi penerus dari berbagai ideologi dan paham yang bertentangan dengan pandangan Agama Islam serta keutuhan berbangsa di Negara Indonesia.
Selain itu dari tantangan-tantangan tersebut bisa juga menjadi sebuah peluang ladang pahala untuk berbuat baik, berdakwah mengajak kepada hal yang disyariatkan dan menjauhi apa yang Allah dan Rasul larang. Sinergitas ini harus terus dibangun oleh lapisan masyarakat, organisasi keagamaan, dan pemerintah guna mewujudkan masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbul ghofur.
———————-
Tentang Penulis:
Ketua MASIKA ICMI, dan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kabupaten Purwakarta. Penulis berprofesi sebagai dosen sekaligus Kaprodi PSTI Kampus Purwakarta, Universitas Pendidikan Indonesia.