MALANG, Berifakta.com – Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menghadirkan Prof. Yinghuei Chen dari Asia University dalam kelas berjudul “Multiculturalism in the Era of Globalization”. Kelas ini merupakan bagian dari kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Prof. Chen membuka paparan dengan menegaskan bahwa multikulturalisme ialah cara hidup berdampingan secara harmonis di tengah keberagaman budaya, agama, dan etnis. Ketika teknologi dan mobilitas global membuat dunia kian menyatu, masyarakat justru perlu menyadari bahwa perbedaan memperkaya identitas kolektif manusia.
“Arus manusia, barang, dan informasi yang bergerak cepat memang menjadikan dunia bak “desa global”, namun tantangan menjaga jati diri budaya sambil tetap terbuka pada pengaruh luar kian terasa. Di titik inilah multikulturalisme berfungsi sebagai landasan nilai sekaligus arah kebijakan untuk menumbuhkan toleransi, inklusivitas, dan rasa saling menghargai,” urai Prof. Chen.
Menjelaskan respons kampusnya, Prof. Chen memaparkan strategi internasionalisasi Asia University yang menanamkan nilai multikultural lewat tiga bahasa wajib, antara lain: Mandarin, Inggris, dan bahasa pemrograman. Program tersebut didukung dengan program pertukaran pelajar dan kegiatan relawan lintas negara.
“Pendekatan ini dirancang untuk melahirkan ‘global citizens’ yang peka terhadap keberagaman, siap bekerja melampaui batas-batas budaya, dan terampil berkolaborasi dalam jaringan yang luas,” ungkapnya. Literasi lintas budaya, tekannya, tidak berhenti pada pengetahuan; ia mesti dirasakan dan dipraktikkan melalui perjumpaan, proyek bersama, dan kerja-kerja pelayanan masyarakat.
Membaca arah zaman setelah pandemi, Prof. Chen menilai multikulturalisme bukan lagi sebatas mengenal budaya lain, melainkan membangun solidaritas global sebagai dasar pemulihan bersama.
“Dunia bergerak menuju Globalization 4.0, fase yang menuntut kolaborasi antarnegeri dan pemahaman budaya yang lebih kuat demi masa depan yang adil, berkelanjutan, dan manusiawi,” tambahnya sebelum mengakhiri kelas. Ia menutup sesi dengan ajakan merawat ragam identitas melalui dialog, kebijakan yang inklusif, dan pendidikan transnasional agar tercipta tatanan global yang damai dan produktif. (*)

