MALANG, Berifakta.com – Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menghadirkan Prof. Changzoo Song (University of Auckland) untuk membedah dinamika multikulturalisme di Korea dan Jepang. Mengawali pemaparannya, ia menekankan bahwa kedua negara bertolak dari sejarah panjang keseragaman etnis, budaya, dan bahasa, sehingga penerimaan terhadap keragaman berjalan lebih lambat dibanding kawasan lain. Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Dari ruang kelas di Malang, pembahasan bergerak ke panggung komparatif antara Eropa dan Asia. Eropa relatif homogen dalam rumpun alfabet, jejak Kekristenan, serta institusi demokrasi sehingga model kebijakan keberagaman lebih mudah dijalankan di atas pondasi yang serupa. Asia justru sebaliknya: mosaik aksara (dari alfabet hingga turunan Sanskerta dan karakter Tionghoa), agama (Islam, Hindu, Buddha, Konfusianisme, Shinto, Kekristenan), serta rezim politik (demokrasi hingga komunis) menuntut penyesuaian kebijakan yang kontekstual alih-alih impor mentah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Fokus kemudian dikerucutkan ke intra-Asia. Asia Timur, khususnya Tiongkok, Korea, dan Jepang; mewarisi penekanan kuat pada keseragaman bahasa dan narasi kebangsaan; sementara Asia Tenggara terbentuk dari simpul perdagangan, migrasi regional, dan kolonialisme berlapis yang membiasakan masyarakat hidup berdampingan lintas etnis, bahasa, dan agama. Lintasan historis yang berbeda ini menjelaskan mengapa Asia Tenggara relatif lebih “terbiasa” dengan pluralitas, sedangkan Asia Timur cenderung lebih kaku—meski arus globalisasi dan kebutuhan ekonomi kini mendorong keduanya bergerak ke tengah.
Dari tingkat makro, diskusi turun ke ruang domestik dan budaya sehari-hari. Salah satu kanal masuk multikulturalisme di Korea dan Jepang hadir melalui pernikahan lintas-negara—sering kali laki-laki lokal dengan perempuan dari Asia Tenggara—yang membawa bahasa, tradisi, hingga praktik pengasuhan baru ke dalam keluarga. Pada budaya makan, perubahan tampak kasatmata: daging domba yang dulu relatif asing bagi banyak orang Korea kini makin populer, antara lain dipengaruhi arus kuliner komunitas Muslim Tionghoa (misalnya dari Xinjiang) serta inovasi alat seperti rotating skewers otomatis. Pergeseran selera dan teknologi dapur ini menunjukkan bagaimana “arus kecil” budaya dapat mengubah kebiasaan mayor melalui ritus makan—pelan, namun persisten.
Seiring menajamnya contoh, problem struktural-kultural ditarik ke permukaan. Imajinasi bangsa homogen kerap menempatkan pendatang sebagai “tamu selamanya”; representasi minoritas di media sering berhenti pada festival dan kuliner, belum bertransformasi menjadi jaminan hak setara seperti perlindungan anti-diskriminasi, layanan publik multibahasa, serta lingkungan sekolah yang aman dari bullying. Di wilayah yang menua dan kekurangan tenaga kerja, dukungan bahasa, layanan sosial, dan infrastruktur pendidikan masih tambal-sulam, membuat integrasi berjalan tidak merata.
Di sisi lain, peluang justru muncul dari tekanan demografis. Korea dan Jepang menghadapi penurunan angka kelahiran dan penuaan penduduk yang menimbulkan defisit tenaga kerja di sektor perawatan lansia, manufaktur, hingga teknologi. Responsnya tidak cukup membuka kran tenaga kerja semata, melainkan menautkannya dengan desain kewarganegaraan yang jelas: program bahasa terpadu yang menyambungkan kebutuhan kerja–sekolah, layanan administrasi multibahasa yang mudah diakses, sekolah sebagai jangkar integrasi dengan guru pendamping bahasa dan parenting class lintas budaya, jalur status tinggal yang progresif dari trainee menuju skilled worker hingga permanent resident, penegakan standar ketenagakerjaan agar multikulturalisme tidak merosot menjadi cheap laborism, serta kerangka anti-diskriminasi yang nyata dari tempat kerja hingga layanan kesehatan.
Menutup sesi, Prof. Song merangkum bahwa pertanyaan bagi Korea dan Jepang bukan lagi apakah perubahan akan datang, melainkan bagaimana perubahan itu dirancang. Jika multikulturalisme dibiarkan berjalan sendiri lewat pasar tenaga kerja dan konsumsi, hasilnya rapuh dan mudah diguncang isu identitas. Namun bila kebutuhan industri dan realitas demografis disambungkan dengan infrastruktur integrasi—bahasa, sekolah, hak kerja, dan perlindungan hukum—multikulturalisme dapat berfungsi sebagai strategi keberlanjutan bangsa yang memperbarui identitas nasional: dari keesaan yang kaku menjadi kesatuan yang memampukan perbedaan. (*)

