JAKARTA, Berifakta.com – Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu mengecam militer Israel yang memberlakukan jeda taktis di salah satu rute ke Jaur Gaza selatan, Palestina, Minggu (16/6/2024) waktu setempat. Diketahui, jeda taktis ini untuk memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan bagi warga sipil Palestina.
“Ketika Perdana Menteri mendengar laporan soal jeda kemanusiaan selama 11 jam di pagi hari, dia menoleh ke sekretaris militernya dan memperjelas bahwa hal ini tidak bisa diterima oleh dirinya,” tutur seorang pejabat Israel yang enggan disebut namany, dikutip Senin (17/6/2024).
Militer Israel mengklarifikasi operasi normal tetap berlanjut di Rafah, yang menjadi fokus utama operasi tentara Tel Aviv di Gaza selatan. Dilaporkan pada Sabtu (15/6/2024) waktu setempat, ada delapan tentara Israel tewas saat bertempur di Rafah.
Respons negatif Netanyahu ini menggarisbawahi ketegangan politik ihwal masalah bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, yang mana sejumlah organisasi internasional telah mewanti-wanti semakin tingginya krisis kemanusiaan di Palestina.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang dikenal kontroversial turut mengutuk gagasan jeda taktis di Gaza selatan itu Bahkan, Ben-Gvir menegaskan, siapa pun yang memutuskan jeda taktis itu adalah orang ‘bodoh’ yang mesti kehilangan pekerjaannya.
Sementara itu, militer Israel mengumumkan keputusan jeda taktis ini sebagai upaya pengingkatan volume bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza usai berdiskusi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sederet organisasi lain.
Perbedaan keputusan antara Netanyahu dengan militer Israel ini menjadi yang terbaru dari bentrokan antara anggota koalisi pemerintahan Israel dengan otoritas militer terkait perang di Jalur Gaza yang kini sudah memasuki bulan kesembilan.
Konflik ini terjadi sepekan usai eks jendarl Israel, Benny Gantz mengundurkan diri dari pemerintahan dan menuding Netanyahu tak punya strategi perang efektif di Jalur Gaza.
Konflik lainnya juga terungkap pekan lalu ketka voting parlemen Israel terkait UU wajib militer bagi warga Yahudi ultra-ortodoks, yang mana Menteri Pertahanan (Menhan) Yoav Gallant juga menentang UU itu lantaran bertentangan dengan perintah partai. Gallant juga menilai UU tersebut tak cukup untuk memenuhi kebutuhan militer.
Sederet partai beraliran keagamaan di Israel sangat menenang UU wajib militer bagi kalangan Yahudi ultra-ortodoks. Penentangan ini memicu luas kemarahan warga Israel yang kian mendalam seiring berlanjutnya perang di Jalur Gaza.
Ditekankan pula oleh panglima militer Israel, Letjen Herzi Halevi pada Minggu (16/6/2024) waktu setempat, ada kebutuhan yang pasti untuk merekrut lebih banyak tentara dari komunitas Yahudi ultra-ortodoks yang berkembang pesat.