MALANG, Berifakta.com – Korea Selatan, yang dulunya dikenal sebagai negara monokultural atau negara yang hanya terdiri dari satu etnis di dalamnya, kini berusaha menghadapi tantangan dalam mengembangkan multikulturalisme. Hal tersebut tak lepas dari pengaruh revolusi industri dan globalisasi yang terus berkembang pesat. Demikian pengantar yang disampaikan oleh Hafid Adim Pradana, M.A., dalam Kelas Multikulturalisme di Asia yang bertemakan “The Challenges of Multiculturalism in South Korea”.
Kelas ini merupakan hasil kerjasama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Adim, sapaan akrabnya, menjelaskan pentingnya memahami dinamika sosial yang dihadapi oleh masyarakat multikultural di Korea Selatan. Ia menguraikan tantangan yang muncul dalam penerimaan multikulturalisme di negara yang dahulunya monokulturalisme, serta upaya-upaya yang diambil pemerintah untuk menciptakan masyarakat etnis asli dan imigran luar etnis yang inklusif dan harmonis.
“Menurut Stuart Hall, multikulturalisme tidak dapat dihindarkan dari dinamika sosial yang ada. Hall menekankan bahwa pengakuan terhadap keberagaman dalam masyarakat disertai oleh interaksi kekuasaan dan identitas yang beroperasi di dalamnya, serta adanya kecenderungan di mana satu budaya atau beberapa budaya dapat mendominasi atau mempengaruhi yang lain,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Adim juga mengutip Bhiku Parekh yang menganggap multikulturalisme sebagai pendekatan yang mengakui dan menghargai keragaman budaya dalam masyarakat. “Setiap budaya memiliki nilai-nilai dan kontribusi yang unik, sehingga penting bagi semua kelompok dalam masyarakat untuk dihormati dan diakui secara setara,” terangnya.
Kehadiran multikultur di Korea Selatan juga turut mendatangkan tantangan tersendiri bagi etnis Korea asli. Rasisme yang tinggi terhadap para pendatang merupakan salah satu tantangan yang dihadapi, tidak hanya bagi para penduduk lokal, namun juga bagi para pendatang. Anggapan bahwa penduduk asli merupakan individu yang paling ideal dan superior membuat masyarakat lokal memandang para pendatang layak untuk diasingkan.
Adim menekankan bahwa meskipun tantangan dalam penerimaan multikulturalisme di Korea Selatan masih besar, upaya untuk menciptakan masyarakat yang inklusif tetap harus terus diperjuangkan. “Perubahan sosial dan budaya bukanlah hal yang mudah, namun dengan dialog yang konstruktif dan kebijakan yang mendukung keberagaman, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis,” ujarnya mengakhiri.
Kelas Multikulturalisme di Asia ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk memperkuat pemahaman lintas budaya serta membuka jalan bagi terciptanya masyarakat yang lebih inklusif di masa depan. (*)