MALANG, Berifakta.com – Sebuah pencapaian akademik prestisius kembali ditorehkan oleh Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Tonny Dian Effendi, Ph.D. Lewat disertasi yang digarapnya secara intensif selama 1,5 tahun, Tonny berhasil meraih predikat NSYSU Outstanding Doctoral Dissertation Award 2024-2025 dari National Sun Yat-sen University, Taiwan.
Penghargaan ini menjadi bukti kualitas riset dosen UMM di kancah global. Pihak universitas di Taiwan memiliki indikator ketat dalam menentukan disertasi yang dianggap memberikan kontribusi signifikan terhadap keilmuan. Dalam risetnya, Tonny melakukan bedah mendalam terhadap konstruksi identitas maritim Indonesia, sebuah topik klasik yang diulas kembali dengan pisau analisis yang lebih tajam.
Mengisi Celah Teoretis Konstruktivisme
Dalam disertasinya, Tonny tidak hanya memaparkan sejarah, namun juga masuk ke ranah perdebatan teoretis Hubungan Internasional. Ia berupaya mengisi celah (gap) dalam perspektif Konstruktivisme Alexander Wendt dengan menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh Amitav Acharya dan Martha Finnemore untuk mempertajam analisis pembentukan identitas negara.
“Secara konseptual, state identity dan nation identity memiliki perbedaan mendasar. State identity melingkupi identitas bangsa sekaligus bermanifestasi dalam perilaku politik luar negeri,” jelas Tonny mengenai kerangka berpikirnya.
Melalui kacamata tersebut, ia menganalisis tiga doktrin kunci: Deklarasi Djuanda 1957, Wawasan Nusantara era Orde Baru, dan visi Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum) era Presiden Jokowi.
“Menariknya, visi maritim Indonesia justru cenderung retrospektif, yakni berupaya merevitalisasi kejayaan masa lampau seperti era Sriwijaya dan Majapahit,” tambahnya.
Proses riset ini memiliki tantangan tersendiri, terutama saat penggalian data primer terkait kepastian arsip dan interpretasi Wawasan Nusantara di era pemerintahan Presiden Soeharto. Namun, ketekunan riset membuahkan hasil yang komprehensif.
Filosofi “Debu di Semesta” dan Sebuah Magnum Opus
Di balik bobot akademisnya, terselip filosofi mendalam yang dipegang teguh oleh Tonny. Ia memandang disertasi bukan sekadar syarat kelulusan, melainkan sebuah pertanggungjawaban intelektual.
“Bagi saya, studi doktoral adalah kesempatan satu kali seumur hidup. Karena itu, pantang untuk berkarya setengah hati. Disertasi ini harus menjadi magnum opus, sebuah karya puncak dalam perjalanan akademik saya,” tegas Tonny.
Kendati demikian, pencapaian ini justru membawanya pada kontemplasi kerendahan hati. Pengalaman berinteraksi dalam berbagai konferensi internasional membuka matanya akan luasnya samudra ilmu pengetahuan.
“Pencapaian ini menjadi pengingat untuk menjauhkan diri dari arogansi. Saat berada di forum internasional, saya menyadari betapa kecilnya diri ini; ibarat butiran debu di tengah luasnya semesta ilmu pengetahuan,” ungkapnya merefleksikan perjalanan studinya.
Pasca penghargaan ini, Tonny memiliki peta jalan akademik yang jelas. Salah satu agenda prioritasnya adalah mentransformasikan naskah disertasinya menjadi sebuah buku akademis. Langkah penerbitan ini diambil sebagai respons atas rekomendasi ketua dewan penguji yang menilai riset tersebut memiliki bobot tinggi dan layak menjangkau khalayak yang lebih luas.
Selain itu, ia juga membidik peluang studi postdoctoral serta aktif dalam konferensi internasional. Ia pun menitipkan pesan optimisme bagi mahasiswa HI UMM agar berani bermimpi tinggi.
“Kuncinya adalah memperkaya dialektika melalui diskusi akademik. Jika ingin hasil terbaik, berikan usaha yang terbaik. Saya ingin meyakinkan mahasiswa HI UMM, jika saya bisa mencapai titik ini, rekan-rekan baik mahasiswa dan dosen pun pasti bisa melampauinya,” pungkasnya. (*)

