MALANG, Berifakta.com – Multikulturalisme adalah koeksistensi beragam kelompok di mana perbedaan budaya diterima dan dihormati; sebuah prasyarat penting bagi masyarakat majemuk seperti Indonesia yang menjunjung semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat perbedaan demi terbentuknya tatanan sosial yang inklusif. Hal tersebut disampaikan oleh Dedik Fitra Suhermanto, M.Hub.Int. dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertajuk “Multiculturalism as the catalyst fo rHarmonizing in Asia”. Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Berangkat dari lanskap kawasan, Dedik menegaskan tiga alasan utama mengapa multikulturalisme krusial di Asia: pertama, Asia adalah rumah bagi berbagai etnis, agama, budaya, dan praktik sosial; kedua, keharmonisan sosial menjadi pondasi pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik, dan perdamaian; ketiga, kebijakan multikulturalisme yang dirancang baik terbukti dapat mencegah konflik etnis sekaligus mendorong inklusivitas. Bila ketiganya diimplementasikan secara konsisten, tambahnya, akan lahir pertukaran budaya, kohesi sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Untuk mengamankan capaian tersebut, Dedik memaparkan empat kunci utama: diversity & inclusion sebagai nilai dasar; social integration agar tak ada minoritas yang terpinggirkan dan keadilan dirasakan semua warga; dialog antarbudaya melalui lembaga mediasi yang aktif mencegah dan menyelesaikan gesekan—ia mencontohkan pentingnya mencegah tawuran antar-kelompok seperti stereotipe “orang Timur vs Jawa” di sebagian wilayah Jawa Timur; serta legal framework yang mewadahi aktivitas budaya lewat regulasi jelas sebagai rujukan bersama.
Sesi berlanjut ke praktik kebijakan di beberapa negara. Singapura disebut menerapkan kerangka kebijakan multikultural yang memberi ruang bagi komunitas imigran mengekspresikan budaya, selama mematuhi aturan yang berlaku. Pendidikan multikultural, imbuhnya, ditanamkan sejak dini hingga perguruan tinggi, sehingga literasi keberagaman bertumbuh bersama pengalaman perjumpaan di ruang publik.
Di Malaysia, Dedik menyinggung kebijakan “One Malaysia” serta skema Bumiputera dalam akses ekonomi dan pendidikan, yang di satu sisi dimaksudkan untuk pemerataan, namun di sisi lain membutuhkan penguatan dialog lintas-komunitas agar rasa keadilan dirasakan setara. Sementara di Indonesia, praktik multikulturalisme tercermin pada upaya menjaga persatuan di tengah keragaman suku, agama, bahasa, dan budaya—dengan Pancasila sebagai landasan nilai toleransi, keadilan, dan kesetaraan hak, pengakuan terhadap agama-agama resmi, perlindungan adat, serta pengembangan pendidikan inklusif.
Menutup paparannya, Dedik menekankan bahwa multikulturalisme bukan sekadar slogan, melainkan arsitektur kebijakan yang menurunkan nilai keadaban menjadi prosedur nyata—dari ruang kelas, kantor pelayanan publik, hingga lingkungan kerja. “Ketika keberagaman dihormati, inklusi dijaga, dialog diinstitusikan, dan hukum memberi kepastian, perdamaian sosial bukan lagi wacana—ia menjadi ekosistem yang mendorong kemajuan ekonomi dan politik,” pungkasnya. (*)

