MALANG, Berifakta.com – Masyarakat multikultural ibarat pisau bermata dua: di satu sisi merupakan kekayaan, di sisi lain menyimpan potensi risiko seperti intoleransi, polarisasi politik, hingga disintegrasi bangsa. Menjawab tantangan ini, pendidikan resolusi konflik yang berbasis pada pemahaman multikultural dan prinsip Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) menjadi langkah preventif yang paling realistis.
Gagasan ini ditegaskan oleh Prof. Dr. Elly Malihah, M.Si., dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertajuk “The Education of Conflict Resolution in a Multicultural Society”. Kelas ini merupakan sebuah program kolaborasi antara Prodi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Menurut Prof. Elly, pendidikan multikultural adalah pondasi utama, yakni sebuah pendekatan pendidikan yang secara esensial menghargai perbedaan. Jika setiap individu mampu menghargai perbedaan, maka sikap toleransi akan tumbuh secara alami. Ia memaparkan bahwa pemahaman ini harus diterapkan dalam berbagai tingkatan, mulai dari lingkup lokal, nasional, hingga global.
Secara khusus, ia menyoroti kekayaan Indonesia yang luar biasa. “Indonesia memiliki keberagaman yang berpotensi menjadi sebuah kekayaan jika dapat dimanfaatkan dengan baik,” ungkap Prof. Elly. Ia merujuk pada fakta bahwa Indonesia terdiri lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku bangsa, dan ribuan bahasa lokal. Namun, ia mengingatkan, jika aset ini tidak dikelola melalui pendidikan yang berkualitas, keberagaman justru bisa menjadi ancaman.
Pada tahap inilah kampus memegang peranan vital sebagai “miniatur keberagaman dunia” dan saluran sosialisasi nilai-nilai inklusif. Sayangnya, institusi pendidikan di Indonesia masih dibayangi oleh tantangan serius.
“Terdapat tiga ‘dosa besar’ pendidikan Indonesia yang hingga kini belum terselesaikan, antara lain: masih adanya intoleransi di lingkungan peserta didik, maraknya perundungan (bullying), hingga eksistensi kekerasan seksual dan penyalahgunaan narkotika,” urai Prof. Elly secara gamblang.
Untuk mengatasi “dosa-dosa” tersebut, ia mendorong mahasiswa untuk menjadi agen perubahan. Mahasiswa perlu secara aktif memahami potensi konflik akibat keberagaman, mempraktikkan manajemen konflik sejak dini, dan menguasai teknik resolusi konflik yang konstruktif. Implementasi Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, menurutnya, adalah salah satu langkah konkret negara untuk memastikan lingkungan pendidikan aman dari kekerasan seksual, sejalan dengan semangat GEDSI.
Sebagai penutup, Prof. Elly menawarkan langkah-langkah strategis yang dapat ditempuh oleh institusi pendidikan tinggi untuk menjadi pelopor kampus damai.
“Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kampus. Mulai dari melembagakan pendidikan resolusi konflik ke dalam kurikulum, mengembangkan ruang partisipasi mahasiswa secara aktif, hingga menjalin kerjasama strategis dengan pihak luar untuk memperkaya wawasan multikultural,” pungkasnya di akhir sesi kelas. (*)

