NGAWI, Berifakta.com – Sebuah buku puisi bernuansa refleksi tentang kegelisahan manusia modern resmi dirilis dan kini dapat dinikmati publik. Buku bertajuk Hidup atau Sekadar Bertahan? karya dua penulis muda, Fathan Faris Saputro dan Uswatun Hasanah, hadir sebagai rangkaian puisi yang mengajak pembaca menelusuri ruang batin: apakah manusia benar-benar hidup, atau hanya menjalani hari tanpa arah.
Sejak halaman pertama, nuansa kontemplatif langsung terasa. Melalui puisi-puisi seperti “Ada Tapi Tiada”, “Bernapas, Tapi Mati”, dan “Bayang Nestapa”, keduanya menggambarkan paradoks kehidupan masa kini—raga hadir, tetapi jiwa kerap tercecer. Ketersesatan di tengah keramaian, kehampaan dalam rutinitas, hingga kehilangan yang tak bersuara menjadi tema yang dipotret dengan bahasa puitis namun lugas.
Meski mengangkat sisi gelap batin manusia, buku ini tak tenggelam dalam pesimisme. Pada bagian “Bertahan dalam Sepi” dan “Ada, Tanpa Hampa”, pembaca diajak menapaki proses berdamai dengan diri. Dari luka menuju penerimaan, dari kosong menuju harapan. Lewat puisi “Batas Kota” dan “Berjalan Tanpa Tujuan”, keduanya menegaskan bahwa makna hidup sering kali justru lahir dari langkah-langkah kecil.
Fathan Faris Saputro mengungkapkan proses kreatif di balik buku tersebut berawal dari pergulatan pribadi yang kemudian menjelma menjadi refleksi universal. “Buku ini lahir dari perjalanan panjang antara bertahan dan menjalani. Kami ingin pembaca tidak merasa sendirian menghadapi retakan hidup. Setiap bait adalah bentuk kejujuran, sekaligus undangan untuk berdamai dengan diri sendiri,” ujar Fathan, Koordinator Divisi Pustaka dan Informasi MPID PDM Lamongan, Selasa (9/12).
Puncak emosional buku ini hadir lewat puisi “Antara Hidup dan Pasrah”, yang merangkai kecemasan, keheningan, dan ketidakpastian hidup dalam renungan panjang. Pertanyaan besar kembali muncul: apakah kita sedang hidup, atau hanya bertahan?
Uswatun Hasanah menambahkan bahwa setiap kata dalam buku tersebut merekam jejak perjalanan personal. “Setiap kata yang kami tulis adalah bagian dari perjalanan kami sebagai manusia. Semoga buku ini menjadi teman bagi siapa pun yang sedang mencari pijakan. Cahaya tidak pernah benar-benar hilang, hanya menunggu ditemukan,” ujar Uswatun, guru SD Muhammadiyah 1 Mantingan yang aktif di berbagai organisasi, termasuk DPD IMM Jawa Timur dan PCNA Mantingan, serta Sekretaris Wakil Bidang Pustaka dan Literasi Kwarda HW Kabupaten Ngawi.
Secara keseluruhan, Hidup atau Sekadar Bertahan? bukan sekadar buku puisi, tetapi sebuah ruang permenungan bagi siapa saja yang tengah berkutat dengan sunyi, resah, atau pertanyaan tentang makna keberadaan. Buku ini layak menjadi pilihan bagi pencinta sastra maupun mereka yang sedang mencari arah dalam perjalanan hidup. (*)

