OPINI – Republik Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) telah memasuki usianya yang ke 78 tahun. Sebuah capaian yang luar biasa untuk menjaga keutuhan bangsa yang besar. Kendati demikian, sebagai warga yang memiliki jiwa patriot, kita harus tetap bersatu padu untuk menjaga keutuhan akan NKRI tercinta. Menjaga NKRI tidak selalu bermakna menempati posisi-posisi penting di pemerintahan. Namun, berkontribusi di aras lokal (desa) dan memajukan desa, juga merupakan bagian dari menjaga NKRI karena keberadaan desa di Indonesia merupakan bagian integral dari negara. Persis seperti yang disampaikan oleh Iskandar (2020) bahwa Desa merupakan Indonesia, dan Indonesia terdiri dari desa-desa itu sendiri. Dalam makna lain, negara dan desa adalah dua dari keseluruhan.
Mashuri Maschab dalam bukunya Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, menegaskan bahwa desa tidak dapat dipisahkan dari tiga tafsir; secara sosiologis, ekonomi, dan politik. Pertama secara sosiologis dilihat sebagai satuan komunitas atau masyarakat yang tinggal menetap dilingkungan yang sama dan cenderung homogen serta saling mengenal satu sama lain. Kedua secara ekonomi desa adalah suatu komunitas yang kebutuhan hidupnya terpenuhi oleh sumber daya alam di sekitarnya. Ketiga secara politik desa adalah bagian dari negara dan merupakan organisasi pemerintahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan, dan pengambilan keputusan dalam mengatur wilayahnya.
Tafsir tiga komponen soal “Desa” dari Mashuri Mascab, sepertinya masih relevan terhadap Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014; pengakuan terhadap desa (asas rekognisi) dan peningkatan kewenangan diaras lokal desa (asas subsidiaritas). Sementara, faktor pendorong lainnya dari kebijakan afirmatif ini adalah otonomi desa atau desentralisasi diaras lokal. Undang-Undang Desa sejatinya mengamanahkan nilai-nilai musyawarah mufakat berlangsung dalam praktik pembangunan di desa.
Setidaknya ada tiga momentum dalam merumuskan perencanaan pembangunan di desa, mulai dari musyawarah dusun (musdus), musyawarah desa (musdes) dan musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) yang nantinya menghasilkan dokumen Rencana Pembangunan Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) (Hakim 2024).
Tuntutan Revisi UU Desa
Belum genap satu dekade, nampaknya UU Desa dinilai memiliki banyak kelemahan. Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) melakukan aksi demonstrasi disekitar gedung parlemen Senayan, Jakarta pada Januari lalu. Dalam orasinya, APDESI setidaknya melayangkan dua tuntutan besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku badan legislatif, yaitu mengenai perpanjangan masa jabatan kepala desa yang diatur dalam pasal 39 dan penambahan Dana Desa (DD) yang tertuang dalam pasal 72. Tidak tanggung-tanggung, APDESI menuntut perpanjangan masa jabatan yang sebelumnya dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Asumsi dasar yang melatarbelakangi tuntutan tersebut ialah mengenai konflik diaras lokal, yakni antara kepala desa dengan basis massa dari mantan rivalnya dianggap sukar untuk dilerai. Lebih lanjut, APDESI menganggap konflik yang terjadi dapat memakan waktu sebanyak dua-tiga tahun untuk menyelesaikannya. Sementara, sisa waktu selanjutnya dari masa jabatan kepala desa dipergunakan untuk menyusun strategi persiapan pilihan kepala desa di periode selanjutnya. Sehingga, sisa waktu yang ada tidak cukup untuk melaksanakan perencanaan pembangunan yang telah disusun.
Baca Juga: DPMD Kaltim Tindak Lanjuti Agenda Data Desa Presisi di Kukar
Kondisi semacam ini dinilai hanya sebatas mengulang konflik secara circular. Di sisi lain, UU Desa hadir sebagai kebijakan afirmatif menghendaki pergeseran paradigma “politik fiskal” dengan cara mendistribusikan sebagian aset yang disebut sebagai “Dana Desa” (DD). Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (2023) setidaknya terdapat Rp. 539 triliun dana desa yang telah digulirkan sepanjang tahun 2015 hingga 2023. Namun, APDESI menilai besaran DD saat ini belum cukup mumpuni untuk menopang pembangunan di desa, sehingga pasal 72 dianggap perlu untuk di revisi dengan maksud agar DD dinaikkan.
Dilema Revisi UU Desa
Tuntutan APDESI terhadap perubahan UU Desa mendapat respon dan dukungan penuh dari Badan Legislatif (BALEG). Permintaan perubahan UU Desa telah disetujui menjadi RUU untuk diundangkan pada rapat paripurna 11 juli 2023 dan disahkan menjadi UU pada kamis 28 maret 2024 (Kompas 2024). Putusan poin pertama dari perubahan UU Desa yang diatur dalam pasal 39 menghendaki jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dengan maksimal masa jabatan dua periode. Berbeda dengan UU Desa sebelumnya; lama waktu menjabat selama enam tahun dengan maksimal tiga periode. Sementara, perubahan pasal 72 memberikan ketentuan anggaran dana desa (ADD) dinaikkan minimal sepuluh persen dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) dari anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang tersedia.
Perubahan pasal 39 mengenai masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi delapan tahun ibarat dua mata pisau. Di satu sisi ruang-ruang partisipasi antara kepala dan warga desa dalam menentukan arah pembangunan desa dapat dilakukan dalam tempo yang lebih lama untuk mencapai hasil yang maksimal. Di sisi lain, belum adanya ketentuan yang jelas dalam UU Desa terkait administrasi dan fungsi pengawasan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi di tingkat desa. Tuduhan ini dikonfirmasi oleh temuan KPK pada tahun 2023 setidaknya jumlah kepala desa yang terjerat perkara kasus korupsi sebanyak 686 aparat desa dengan perkiraan kerugian negara sebesar RP 433,8 miliar.
Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) pada prinsipnya merupakan dua dari keseluruhan karena keduanya berangkat dari distribusi anggaran yang sama, “supra desa”. Bedanya DD berasal dari APBN, sementara ADD dari APBD. Baik dari pusat maupun daerah, secara peruntukan harusnya bicara efektivitas dan ketepatan aliran dana yang telah dikucurkan. Anehnya, dalam beberapa kasus, aliran dana yang lebih besar bukan berarti berkorelasi dengan hasil yang besar pula.
Sebagaimana periode 2015-2023 dana desa sudah lebih dari 500 triliun namun hanya mampu menurunkan 3,78 juta jiwa penduduk miskin. Sementara, pada periode 2007-2014 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) hanya dengan anggaran 60 triliun, namun mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 5,84 juta jiwa penduduk miskin (Kompas). Jika kita pelajari dengan seksama, harusnya secara otomatis fakta dan data di atas dapat membatalkan perubahan UU Desa mengenai kenaikan ADD yang diasumsikan dapat mempercepat pemerataan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sebab, berangkat dari fakta bahwa DD yang lebih besar belum bisa mematahkan tesis keberhasilan penurunan angka kemiskinan dari pendanaan sebelumnya yang relatif lebih kecil.
Rekomendasi yang Krusial
Revisi Undang-Undang Desa harusnya dapat menjangkau aspek-aspek yang lebih krusial agar desa dapat berkembang dan bertumbuh sebagaimana yang dicita-citakan bersama. Faktor-faktor penting yang perlu menjadi perhatian utama adalah; kejelasan regulasi mengenai tingkat pengawasan di desa, infrastruktur pendidikan di desa, dan ketersediaan data desa yang presisi.
Pertama, Perubahan pasal 39 jika tidak disertai dengan fungsi pengawasan yang terukur hanya akan memberikan peluang bagi petahana dalam mengkooptasi sumber daya dan mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya untuk mempertahankan eksistensinya. Merujuk Hadiz (2010) bahwa dengan adanya kekayaan material yang melimpah, elit oligarki yang sudah mapan akan berupaya untuk mempertahankan dominasinya di tingkat lokal. Kejelasan regulasi tingkat pengawasan di desa yang dimaksud adalah kurangnya ketegasan dan ketidakteraturan dalam regulasi terkait tugas dan wewenang BPD dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian dalam melakukan pengawasan. Hal ini dapat mengakibatkan celah untuk penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran aturan.
Baca Juga: Data Desa Presisi: Instrumen Transformasi Indonesia Dari Desa
Kedua, Perlu adanya pemerataan infrastruktur pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kualitas sumber daya di desa. Mengingat, secara luas persentase penduduk Indonesia yang berpendidikan tinggi hanya ada 10 persen (Databoks 2023). Jika kualitas pendidikan tidak berbanding lurus dengan semangat zaman dalam melahirkan inovasi di desa, masa jabatan serta besaran DD dan ADD yang berlipat tidak akan membuahkan hasil apapun jika tidak diimbangi dengan kemampuan akademik kepala desa beserta warganya.
Ketiga, Ketersediaan Data Desa Presisi (DDP) sebagai panduan perencanaan pembangunan di tingkat desa. Sjaf (2022) mengatakan perencanaan yang baik perlu dimulai dari ketersediaan data presisi. Sejalan dengan Gandi (2023) kehendak pembangunan perlu diperbaiki dengan didasari atas pemahaman pembangunan yang tepat, yaitu pembangunan melalui perencanaan yang terukur berbasis data agar perencanaan dapat berbasis data-datanya, bukan kata-katanya.
DDP adalah data yang memiliki tingkat akurasi dan ketepatan tinggi untuk memberikan gambaran kondisi aktual desa. Data tersebut diperoleh menggunakan sejumlah pendekatan, yaitu: sensus berbasis satuan rumah tangga, pemetaan spasial menggunakan drone participatory mapping (DPM) untuk menghasilkan peta dan titik koordinat rumah (bangunan berpenghuni dan tidak berpenghuni) serta melakukan PRA dan FGD bersama warga desa untuk menggali informasi kualitatif sebagai tools menentukan perencanaan dan pembangunan desa.
DDP dapat menghasilkan data spasial serta data sensus yang digunakan untuk memperoleh data tematik persil (demografi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain), peta desa sesuai aturan yang berlaku (administrasi, batas desa, infrastruktur, topografi, penggunaan lahan, dan lain-lain), verifikasi data potensi desa, estimasi maupun proksi pembangunan desa berbasis lahan, daya dukung desa, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.
Lebih dari itu, database yang diperoleh dari data spasial dapat dijadikan sebagai basis menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes). Dengan demikian, ukuran-ukuran perencanaan dan pembangunan desa memiliki presisi tinggi yang dapat menghalau terjadinya manipulasi data dan anggaran yang bersumber dari aras desa maupun supra desa.
Penulis: Iswan Taufik
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB University