MALANG, Berifakta.com – Di Indonesia, kasus terorisme pertama tercatat pada 1981, dengan aksi-aksi yang sering terjadi saat perayaan besar. Faktor penyebab terorisme meliputi radikalisasi individu yang merasa terancam, serta kebutuhan akan identitas.
Demikian pengantar yang disampaikan oleh Ali Fauzi Manzi, pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian, dalam Kelas Multikulturalisme di Asia bertema “Multiculturalism to Counter Terrorism: Lessons from Indonesia”. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (HI UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Ali Fauzi, yang akrab disapa demikian, menyatakan bahwa terorisme merupakan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik atau ideologis, sering kali dengan menargetkan warga sipil untuk menciptakan ketakutan dan menarik perhatian publik.
Dalam kelas tersebut, Ali Fauzi juga berbagi pengalamannya sebagai mantan narapidana terorisme. Ia menegaskan bahwa bagaimanapun, terorisme tidak pernah dapat dibenarkan dan sangat membahayakan. “Terorisme bukan hanya kejahatan biasa, melainkan juga pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan keamanan global,” ungkapnya.
Untuk mengatasi ancaman terorisme, Ali Fauzi menekankan pentingnya peran “dokter spesialis” yang mampu menangani kasus terorisme dari akarnya. Berangkat dari pemikiran ini, ia mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah rumah aman bagi para mantan narapidana terorisme, sebagai upaya untuk memulihkan mereka dan menghapus jaringan terorisme. Yayasan ini tidak hanya berfokus pada penyembuhan individu, melainkan juga pada deradikalisasi ideologis yang telah mendorong mereka terlibat dalam aksi teror.
Akan tetapi, Ali Fauzi mengakui bahwa ancaman terorisme belum sepenuhnya hilang dari Indonesia. “85% alasan mereka menjalankan aksi teror adalah karena ideologi. Ketika mereka mulai meragukan ideologi tersebut, jaringan terorisme datang untuk menghasut dan memanfaatkan keraguan itu, seringkali untuk memaksa mereka melakukan tindakan yang tidak masuk akal, seperti bom bunuh diri,” jelasnya.
Sebagai upaya untuk menangkal terorisme di masa depan, Ali Fauzi menggarisbawahi pentingnya pendidikan multikulturalisme yang inklusif dan dialog lintas budaya. Menurutnya, penghargaan terhadap perbedaan dan pemahaman antarbudaya adalah salah satu kunci utama dalam mencegah radikalisasi di kalangan individu yang rentan. Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan berbagai pihak terkait harus terus diperkuat demi menjaga stabilitas dan keamanan nasional. (*)