Oleh: Ihsanuddin, SE.I., Mahasiswa Pascasarjana SEBI Institute Jakarta | Sekretaris Umum PUI Cirebon
Gunung Kuda merupakan salah satu kawasan tambang galian C yang selama ini menjadi nadi ekonomi di Kabupaten Cirebon. Kawasan ini telah menyuplai material bagi ratusan pabrik lokal dan proyek strategis nasional. Aktivitas pertambangan di Gunung Kuda turut menopang kehidupan ekonomi ratusan bahkan ribuan pelaku usaha, pekerja, dan masyarakat sekitar—baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, peristiwa longsor yang terjadi beberapa waktu lalu tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan menyisakan duka, tetapi juga mengguncang fondasi ekonomi masyarakat. Kabupaten Cirebon sendiri mencatat tingkat kemiskinan sebesar 11% pada tahun 2024, yang berpotensi meningkat jika dampak bencana ini tidak segera ditangani secara sistematis.
Dalam konteks tersebut, diperlukan analisis menyeluruh terkait besarnya kerugian ekonomi, dampaknya terhadap struktur ketenagakerjaan lokal dan rantai pasok industri nasional, serta solusi alternatif melalui pendekatan ekonomi Islam yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Gambaran Data Dampak Ekonomi
Berdasarkan data lapangan dan informasi dari para pelaku usaha:
•Tenaga Kerja Langsung (Resmi & Informal):
± 440 orang terdampak.
Pendapatan rata-rata: Rp 500.000 – 1.000.000 per minggu.
→ Potensi kerugian: ± Rp 330 juta/minggu atau ± Rp 1,32 miliar/bulan.
•Industri Hilir (Pabrik Batu Alam):
± 250 pabrik, dengan rata-rata 5–10 karyawan/pabrik.
Total tenaga kerja: ± 1.750 orang.
Pendapatan rata-rata: Rp 500.000 – 1.200.000/minggu.
→ Potensi kerugian: ± Rp 1,49 miliar/minggu atau ± Rp 5,96 miliar/bulan.
- Rantai Pasok dan Proyek Strategis Nasional:
± 200 ritase material/hari × Rp 250.000/rit → ± Rp 50 juta/hari → ± Rp 1,5 miliar/bulan.
Proyek terdampak: Bandara Kertajati, Pelabuhan Patimban, Jalan Tol, PLTU, Indocement, dll.
→ Gangguan suplai berisiko memperlambat durasi pembangunan serta meningkatkan biaya proyek.
Estimasi Total Kerugian Ekonomi dari sektor langsung dan hilir:
± Rp 1,82–1,83 miliar per minggu atau lebih dari Rp 7 miliar per bulan.
Implikasi Ekonomi Mikro dan Makro
Ekonomi Mikro:
•Terhentinya sumber penghasilan masyarakat menengah ke bawah.
•Meningkatnya tekanan ekonomi rumah tangga buruh tambang.
•Dampak psikososial akibat kehilangan pekerjaan mendadak.
•Potensi peningkatan utang rumah tangga dan kerentanan sosial.
Ekonomi Makro Daerah:
•Penurunan aktivitas produksi pabrik batu alam.
Efek domino pada sektor transportasi, logistik, dan distribusi bahan bangunan.
•Potensi penurunan PAD dari retribusi dan pajak tambang.
•Perlambatan proyek infrastruktur akibat keterlambatan suplai material.
Jika tidak segera diatasi, kondisi ini akan mengarah pada stagnasi ekonomi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) lanjutan, serta meningkatnya ketergantungan terhadap bantuan sosial. Hal ini dapat berdampak pada penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Cirebon, yang saat ini berada pada angka 0,714, dan memperdalam angka kemiskinan.
Perspektif Ekonomi Islam: Telaah Literatur dan Praktik Historis
Al-Qur’an dan As-Sunnah
•Larangan Merusak Alam:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56).
•Kepemilikan Bersama:
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)
Praktik Khulafaur Rasyidin – Umar bin Khattab:
•Pengelolaan Tanah Taklukan:
Tanah tidak dibagikan kepada elite, tetapi dikelola sebagai ardh kharajiyah, yaitu milik negara untuk kesejahteraan umum.
•Baitul Mal:
Berperan sebagai pengelola dana publik, termasuk pendistribusian kepada mustahik (fakir, miskin, yatim, dll), yang menjadi cikal bakal sistem jaminan sosial dalam Islam.
Nilai-Nilai Fundamental dalam Ekonomi Islam
- Milkiyyah ‘Ammah (Kepemilikan Umum): Sumber daya alam adalah hak kolektif umat. Monopoli oleh pihak tertentu yang mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal bertentangan dengan prinsip syariah.
- Maslahah ‘Ammah vs Mafsadah: Kegiatan ekonomi harus menghasilkan manfaat bagi publik dan tidak menimbulkan kerusakan. Eksploitasi berlebihan yang menyebabkan longsor menunjukkan kegagalan menjaga keseimbangan.
- Khilafah dan Amanah Lingkungan: Manusia adalah khalifah di bumi dan wajib menjaga kelestariannya. Aktivitas tambang semestinya berorientasi pada keberkahan, bukan semata profit.
Kesimpulan
Longsor Gunung Kuda bukan hanya bencana alam, melainkan peringatan serius atas rapuhnya ketahanan ekonomi masyarakat yang terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Ini menunjukkan bahwa tata kelola SDA selama ini belum menjunjung prinsip keberlanjutan dan keadilan.
Dalam pandangan ekonomi Islam, pengelolaan SDA bukan hanya persoalan teknis ekonomi, tetapi juga amanah spiritual dan sosial. Diperlukan sistem pengelolaan berbasis syariah yang menekankan keadilan, transparansi, dan manfaat kolektif.
Rekomendasi: Jalan Keadilan dan Keberlanjutan
Untuk Pemerintah:
•Revisi dan Evaluasi Izin Tambang, termasuk zonasi rawan bencana.
•Review AMDAL berbasis risiko sosial-ekonomi dan ekologi.
•Program Reklamasi dan Reboisasi kawasan bekas tambang.
•Alternatif Lapangan Kerja bagi mantan pekerja tambang.
•Pelatihan Wirausaha & Program Padat Karya berbasis potensi lokal.
Solusi Berbasis Ekonomi Islam:
•Penguatan Nilai Syariah dalam kebijakan pengelolaan SDA.
•Model Bisnis Syariah: Misalnya koperasi tambang berbasis musyarakah.
•Optimalisasi Zakat, Wakaf Produktif, dan Dana Sosial untuk pembangunan ekonomi lokal.
•Sistem Monitored Benefit: Distribusi manfaat tambang untuk masyarakat sekitar berdasarkan prinsip ‘urf dan keadilan.
•Kolaborasi Multisektor: Pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan ormas Islam menyusun ulang tata kelola SDA berbasis maslahah.
Penutup
Indonesia membutuhkan paradigma baru dalam pengelolaan kekayaan alam: bukan hanya sebagai sumber devisa, tetapi sebagai sumber keadilan dan kesejahteraan publik. Bencana ini seharusnya menjadi titik balik menuju model pembangunan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan. (*)