MALANG, Berifakta.com – Profesor Nishi Yoshimi dari Universitas Kyoto berbagi pengalaman mitigasi bencana internasional dengan mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam sebuah kuliah yang bertajuk “Building Disaster Resilient Communities in the Globalised and Post-Pandemic Era”. Kelas Multikulturalisme di Asia ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Dalam penyampaiannya, Nishi menekankan pentingnya kemampuan individu dalam menghadapi bencana. Berdasarkan pengalaman gempa Kobe tahun 1995, ia menjelaskan bahwa pertolongan paling efektif berasal dari diri sendiri (self help), diikuti keluarga, dan kemudian tetangga. Ia memperingatkan agar tidak terlalu bergantung pada korban lain atau aparatus resmi, karena peluang pertolongan sangat kecil.
Nishi menyoroti bahwa mitigasi bencana tidak sekadar soal kelembagaan, melainkan juga mempertimbangkan keragaman budaya. Ia mengapresiasi masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menerima dan membantu orang dengan latar belakang berbeda. “Di Indonesia, peran individu sangatlah krusial. Sebab, ia mampu menjembatani perbedaan yang mencakup kondisi geografis dan demografis,” terang Nishi.
Pengalaman Jepang menunjukkan bahwa sistem penanggulangan bencana berhasil dibangun melalui tiga pilar utama: jijo (upaya mandiri), kyojo (bantuan komunitas), dan kojo (bantuan pemerintah).
“Data menunjukkan bahwa 35% penyelamatan berasal dari individu, 32% dari keluarga, dan sisanya dari komunitas dan pemerintah. Keberhasilan mitigasi tidak sekadar bergantung pada regulasi, namun juga adaptasi dengan nilai dan kebiasaan masyarakat,” ungkap Nishi.
Di Indonesia, pendekatan mitigasi bencana menekankan pentingnya pembelajaran dari pengalaman untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Budaya gotong royong menjadi aset penting, meskipun menghadapi tantangan perubahan sosial dan peningkatan mobilitas penduduk.
Inovasi teknologi, seperti aplikasi Memorygraph, turut berperan dalam dokumentasi perubahan pascabencana. Aplikasi ini memungkinkan masyarakat merekam transformasi lanskap kota sebagai upaya memfasilitasi pemahaman lintas budaya.
“Mitigasi bencana membutuhkan integrasi budaya, kolaborasi lintas sektor, dan pemanfaatan teknologi untuk membangun masyarakat tangguh di era globalisasi,” pungkas Nishi mengakhiri kelas. (*)