Oleh: Dr. KH. Muhamad Habib Khaerussani, M.Pd., Pemerhati Pendidikan dan Pengasuh Pondok Pesantren Akmala Sabila
Peristiwa di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, di mana seorang kepala sekolah menegur bahkan menampar siswanya karena ketahuan merokok di area sekolah, telah menyita perhatian publik. Banyak pihak segera bereaksi: ada yang menilai tindakan itu sebagai bentuk kekerasan yang tak bisa dibenarkan dalam dunia pendidikan, ada pula yang melihatnya sebagai ekspresi kasih sayang seorang guru yang kecewa karena moral siswanya tergelincir.
Saya memilih untuk tidak terburu-buru memvonis. Sebab di balik sebuah tamparan, bisa tersimpan niat yang mendidik — atau sebaliknya, luapan emosi yang tak terkelola. Yang menentukan nilainya bukan hanya apa yang dilakukan, tetapi juga mengapa dan bagaimana hal itu dilakukan.
Sekolah: Antara Ruang Belajar dan Ruang Pembentukan Karakter
Sekolah bukan sekadar tempat menghafal rumus dan teori. Ia adalah laboratorium moral tempat anak belajar membedakan benar dan salah, baik dan buruk, sopan dan tidak sopan. Dalam konteks itu, guru bukan sekadar pengajar, tetapi murabbi — pembimbing jiwa.
Ketika seorang guru menegur murid yang merokok di lingkungan sekolah, ia sejatinya sedang menjalankan fungsi luhur itu: menjaga marwah pendidikan agar tidak tergelincir menjadi tempat permisif terhadap pelanggaran nilai.
Sayangnya, kita hidup di zaman yang amat sensitif. Satu tamparan bisa viral. Satu kata “goblok” bisa dipotong dari konteks dan dijadikan amunisi untuk menjatuhkan marwah seorang pendidik. Padahal, teguran keras dalam konteks pendidikan — selama disertai niat memperbaiki, bukan melukai — sejatinya adalah bagian dari tarbiyah bil hikmah: pendidikan dengan kebijaksanaan.
Antara Kekerasan dan Ketegasan
Kita harus membedakan antara kekerasan dan ketegasan. Kekerasan lahir dari amarah, ketegasan lahir dari cinta. Seorang guru yang menegur, bahkan menepuk pundak muridnya karena melanggar aturan, bisa jadi sedang melindungi masa depan anak itu agar tak jatuh ke jurang kebiasaan buruk.
Namun tentu saja, guru juga manusia. Ia bisa lelah, bisa terpancing emosi, bisa khilaf. Di sinilah pentingnya ruang refleksi dan mediasi yang dilakukan dengan arif — seperti yang akhirnya terjadi antara Kepala Sekolah Dini Pitri dan siswanya, ILP. Keduanya saling memaafkan. Dan di momen itu, kita menyaksikan bahwa pendidikan karakter bukan hanya untuk murid, tapi juga untuk guru.
Restorasi Nilai dalam Dunia Pendidikan
Saya justru melihat hikmah besar dari peristiwa ini: bahwa pendidikan Indonesia sedang diuji antara dua kutub — humanisasi dan disiplinisasi. Di satu sisi, kita menuntut pendidikan yang ramah anak, penuh empati, tanpa kekerasan. Di sisi lain, kita juga merindukan sekolah yang tegas, berwibawa, dan mampu menanamkan nilai tanggung jawab serta hormat pada guru.
Jalan tengahnya bukan pada meniadakan ketegasan, melainkan menyempurnakan cara kita menegur. Bukan dengan tangan yang menampar, tapi dengan kata yang menampar kesadaran. Bukan dengan amarah yang membakar, tapi dengan kasih sayang yang menyalakan nurani.
Guru dan Murid: Dua Cermin dalam Satu Bingkai
Guru dan murid sejatinya adalah dua cermin yang saling memantulkan cahaya. Jika murid berbuat salah, ia sedang menunjukkan tantangan bagi gurunya untuk mendidik lebih sabar. Jika guru terpancing emosi, ia sedang memberi pelajaran kepada muridnya bahwa manusia pun bisa khilaf — tetapi harus tahu jalan untuk meminta maaf.
Maka pertemuan antara Ibu Dini dan ILP di hadapan Gubernur Banten bukan sekadar adegan damai, tetapi pelajaran sosial: bahwa pendidikan sejati bukan diukur dari absennya kesalahan, tetapi dari kemampuan memperbaiki diri setelah kesalahan terjadi. (*)