MALANG, Berifakta.com – Globalisasi telah menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam pengelolaan keragaman identitas dan migrasi lintas negara. Fenomena ini memerlukan pendekatan multikulturalisme yang komprehensif untuk menjembatani perbedaan budaya dan menciptakan harmoni sosial.
Hal tersebut disampaikan Prof. Gonda Yumitro dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertajuk “Living in the Global Era with Citizenship and Multiculturalism: Asian Shift between Globalization and Regionalism”. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
“Mengutip Roland Robertson dari University of Aberdeen, globalisasi telah menciptakan kompresi dunia dan intensifikasi kesadaran global. Proses ini didorong oleh teknologi, ekonomi, dan berbagai faktor lain seperti kapitalisme global dan migrasi transnasional,” papar Gonda.
Taiwan menjadi contoh menarik dalam diskusi ini. Negara tersebut telah bertransformasi dari masyarakat yang relatif tertutup menjadi destinasi pekerja migran, termasuk dari Indonesia. “Peningkatan jumlah pekerja migran Muslim Indonesia di Taiwan mencerminkan hubungan mutualisme antara kedua negara, meski masih menghadapi tantangan bahasa dan potensi benturan identitas,” jelasnya.
Ketika berbicara tentang identitas, Gonda menekankan pentingnya pengenalan dan penghargaan terhadap perbedaan. “Penggunaan istilah seperti ‘pribumi’ dan ‘migran’ harus dilakukan dengan hati-hati karena berpotensi menciptakan polarisasi sosial, terutama ketika dijadikan identitas politik,” ujarnya.
Terkait relativisme budaya, ia menggarisbawahi bahwa setiap masyarakat memiliki kode moral yang berbeda. Namun, perbedaan ini tidak berarti absennya kebutuhan akan nilai-nilai universal yang menjembatani keberagaman.
“Multikulturalisme mengakui klaim universal terhadap budaya yang berbeda. Dunia perlu menerapkan prinsip kesetaraan di antara berbagai keyakinan, persepsi, dan perilaku masyarakat,” tutup Gonda seraya menekankan pentingnya membangun pemahaman lintas budaya. (*)