MALANG, Berifakta.com – Keberagaman budaya Malaysia yang telah terbentuk sejak era perdagangan kuno hingga masa kolonial merupakan aset berharga sekaligus tantangan dalam membangun harmoni sosial. Pengelolaan keragaman ini memerlukan pendekatan komprehensif yang mempertimbangkan aspek historis, sosial, dan ekonomi.
Demikian disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Syaza Farhana, akademisi International Islamic University Malaysia (IIUM), dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang mengupas tuntas tentang dinamika multikulturalisme di Malaysia.
Kelas ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series. Malaysia, yang memperoleh kemerdekaan pada 1957 dan membentuk federasi pada 1963, dihuni oleh masyarakat multietnis dengan komposisi Melayu-Bumiputera (69%), Tionghoa (23%), dan India (7%). Islam sebagai agama mayoritas dianut 61% populasi, dengan Bahasa Malaysia sebagai bahasa resmi negara.
“Warisan kolonial masih terlihat dalam sistem pendidikan yang mengakomodasi keragaman bahasa pengantar, meliputi Melayu, Mandarin, dan Tamil. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap pluralitas etnis yang ada,” jelas Syaza dalam paparannya.
Dalam ranah politik, Malaysia menerapkan pendekatan konsosiasionalisme yang melibatkan partai-partai berbasis etnis untuk menjaga stabilitas sosial. Kontrak sosial yang memberikan keistimewaan kepada Melayu-Bumiputera, meski terkadang memunculkan isu ketimpangan, menjadi bagian integral dari lanskap politik Malaysia.
“Kebijakan Ekonomi Baru tahun 1971 yang ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antaretnis memang menghadapi berbagai kritik, namun ini menunjukkan upaya serius pemerintah dalam mengelola keragaman,” tambah Syaza.
Tantangan terbesar yang dihadapi Malaysia adalah menjaga keseimbangan antara harmoni sosial dan keadilan ekonomi. Masa depan multikulturalisme di negara ini akan sangat bergantung pada inovasi dalam mengelola pluralitas dengan prinsip inklusivitas.
“Keberagaman bukanlah hambatan, melainkan potensi yang dapat memperkaya perspektif dan mendorong inovasi jika dikelola dengan bijaksana,” tutup Syaza dengan optimisme. (*)