MALANG, Berifakta.com – Korea merupakan salah satu negara di Asia Timur yang berdiri dengan memegang prinsip ‘민족(Minjok)’, sebuah negara etnis tunggal yang didasarkan pada sudut pandang bersatu dari satu Korea, satu bangsa. Pembahasan ini menjadi fokus utama dalam kelas Multikulturalisme di Asia bertemakan “Analyzing South Korea’s Imigration Policy Through the Lens of Multiculturalism” yang dalam pemaparannya disampaikan oleh M. Syaprin Zahidi, M.A.
Kelas ini merupakan hasil kerjasama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
“Ketika kita mempelajari Hubungan Internasional (HI), kasus Korea Selatan menyajikan contoh yang menarik tentang bagaimana sebuah negara tradisional menghadapi dilema antara tetap mempertahankan identitas homogennya atau turut serta dalam mengadopsi nilai-nilai multikulturalisme”, ungkap Syaprin dalam pemaparannya. Jika berbicara tentang pemahaman multikulturalisme di Korea Selatan, Syaprin merujuk pada konsep ‘민족(Minjok)’ yang telah mengakar kuat dalam masyarakat etnis Korea Selatan asli.
Jika diraba melalui prespektif Hubungan Internasional, multikulturalisme menjadi cermin bagaimana suatu negara beradaptasi dengan tuntutan global. Hal ini relevan dengan realitas bahwa setiap budaya yang beragam perlu hidup berdampingan dan saling menerima di era sekarang, seperti konsep ‘satu bangsa satu darah’ yang kemudian telah mulai bergeser menuju penerimaan dan integrasi berbagai kelompok budaya dalam masyarakat.
Situasi ini tentu menghasilkan dinamika tersendiri dalam kebijakan imigrasi Korea Selatan, di mana strategi dan tindakan untuk mengatur kehidupan harmonis antar budaya harus berhadapan dengan nilai-nilai tradisional yang telah lama dipegang.
Dalam pemaparannya, Syaprin menekankan sebuah perspektif penting dalam kajian Hubungan Internasional terkait kasus ini. Beliau menjelaskan bahwa kebijakan imigrasi memiliki dimensi yang lebih luas dari sekadar pengaturan mobilitas manusia lintas negara.
Lebih dari itu, kebijakan tersebut mencerminkan proses suatu negara dalam membentuk kembali jati dirinya. Dalam hal ini, Korea Selatan menjadi contoh nyata bagaimana sebuah negara berusaha menyeimbangkan antara pemeliharaan nilai-nilai tradisionalnya dengan tuntutan untuk mengadopsi keberagaman budaya dan kebijakan yang inklusif di era globalisasi.
“Melalui lensa HI, kita dapat memahami bahwa tantangan Korea Selatan dalam mengadopsi multikulturalisme bukan sekadar masalah domestik, melainkan cerminan dari dinamika global yang lebih luas. Ini mengajarkan kita bahwa dalam studi Hubungan Internasional, pemahaman tentang identitas nasional dan adaptasi terhadap perubahan global adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,” pungkasnya. (*)