MALANG, Berifakta.com – Keanekaragaman ekologis Indonesia merupakan aset nasional yang kompleks. Meskipun menjadi kekuatan, keragaman ini juga menimbulkan tantangan signifikan dalam membangun toleransi di tengah masyarakat multikultur. Pendekatan inovatif untuk menjembatani perbedaan cultural terungkap melalui konsep hutan wakaf.
Begitulah yang disampaikan oleh Dr. Khalifah Muhammad Ali, B.Sc., M.sc, seorang akademisi IPB University, dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertajuk “Waqf-based Forests: Fostering Multicultural Harmony and Environmental Resilience”. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Konsep hutan wakaf merujuk pada area hijau yang dikembangkan di atas lahan yang didonasikan untuk kepentingan publik, khususnya konservasi lingkungan. Instrumen ini memiliki multidimensi manfaat, mencakup aspek ekologis, sosial, pendidikan, hingga penelitian.
Lebih dari sekadar area hijau, hutan wakaf berpotensi menjadi medium kolaborasi antarstakeholder, termasuk pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan terkait.
“Ruang hijau ini dapat mentransformasi perbedaan menjadi kekuatan bersama. Melalui partisipasi kolektif, kita dapat membangun saling pengertian lintas keyakinan dan menghargai keberagaman,” papar Ali dalam penjelasannya.
Ruang hijau ini berpotensi menjadi arena dialog produktif bagi kelompok dengan latar belakang berbeda. Ia menawarkan solusi konkret dalam menciptakan harmoni di tengah kompleksitas sosial masyarakat Indonesia.
Hutan wakaf dapat diterjemahkan sebagai manifestasi kesadaran kolektif dalam menjaga lingkungan dan keutuhan bangsa.
“Inisiatif ini dapat menginspirasi generasi muda untuk terus berinovasi dan berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan, sejalan dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals,” tutup Ali dengan penuh optimisme. (*)