MALANG, Berifakta.com – Multikulturalisme sering dianggap sebagai alat yang ampuh untuk mengatasi perbedaan budaya di Asia. Namun, Prof. Gautham Kumar Jha, Ph.D dari Jawaharlal Nehru University mempertanyakan, “Apakah kita benar-benar memahami apa yang diperlukan untuk membangun komunitas Asia yang bersatu, atau kita hanya terjebak dalam retorika?”
Dalam pandangannya, multikulturalisme memiliki sisi paradoks yang perlu dievaluasi, terutama ketika dihadapkan pada realitas ideologi dan geopolitik yang tajam di Asia. Hal tersebut disampaikan dalam kelas Multikulturalisme di Asia. Kelas ini merupakan hasil kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Sebagai seorang akademisi yang mendalami kajian sosial-politik Asia, Prof. Gautham menyoroti bahwa semangat multikulturalisme sering kali berbenturan dengan kenyataan di lapangan. “Multikulturalisme adalah gagasan besar,” katanya. “amun, apakah Asia siap untuk menerima keragaman itu, atau justru menggunakan perbedaan sebagai alasan untuk menghindar dari integrasi?” tambahnya.
India, misalnya, kerap dipuji sebagai contoh “persatuan dalam keberagaman,” namun Prof. Gautham menegaskan bahwa slogan ini sering kali dipahami secara dangkal. Menurutnya, India memiliki posisi strategis untuk mempromosikan multikulturalisme, namun tantangan internal seperti ketegangan antaragama dan perbedaan etnis terus menghantui. “Bagaimana kita bisa menginspirasi kawasan lain ketika kita sendiri masih berjuang dengan persoalan identitas internal?” ujarnya mengkritisi.
Selain itu, perbedaan mendasar dalam sistem politik Asia turut memperumit upaya ini. “Demokrasi dan otoritarianisme bukan sekadar pilihan politik, mereka adalah identitas nasional,” kata Prof. Gautham, merujuk pada kontras antara India dan Tiongkok.
Ia menekankan bahwa perbedaan ideologi ini bisa jadi lebih sulit dijembatani daripada sekadar menumbuhkan toleransi budaya. “Apakah benar kita ingin menyatukan Asia di bawah payung multikulturalisme, atau justru perlu menerima bahwa perbedaan-perbedaan ini lebih cocok untuk berjalan secara paralel, bukan menyatu?” tanyanya.
Di kelas ini, Prof. Gautham juga mengkritisi pemikiran Mahatma Gandhi yang kerap dirujuk dalam diskusi multikulturalisme di India. “Gandhi berbicara tentang toleransi dan saling memahami, namun, apakah kita siap menerjemahkan toleransi itu dalam skala kawasan? Karena apa yang terjadi di India belum tentu berlaku di Asia Tenggara, atau bahkan di antara masyarakat sendiri,” paparnya.
Pandangan Prof. Gautham membuka diskusi baru: apakah Asia benar-benar dapat menyatu di bawah ideologi multikulturalisme, atau malah perlu menerima perbedaan sebagai realitas yang harus diakomodasi tanpa harus terintegrasi penuh? “Kita mungkin perlu pendekatan baru, bukan multikulturalisme yang memaksa persatuan, melainkan sebuah pluralisme yang mengakui batas-batas yang ada,” pungkasnya. (*)