MALANG, Berifakta.com – Di Indonesia dan Uzbekistan, hubungan diplomatik terus berkembang dengan peluang besar untuk memperluas jaringan internasional di berbagai sektor. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Mufti Rakadia Sumaryadi, Staf Kedutaan Besar Indonesia untuk Uzbekistan dalam kelas bertajuk “The Opportunities to Expand International Networks Through Indonesia-Uzbekistan Diplomatic Relations”. Kelas ini merupakan bagian dari kolaborasi Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (HI UMM) dengan Eurasia Foundation dalam rangkaian Eurasia Lecture Series.
Mufti Rakadia menjelaskan bahwa hubungan diplomatik Indonesia dan Uzbekistan telah dimulai sejak era Presiden Soeharto yang menjalin kerjasama dengan Presiden Islam Karimov, pemimpin pertama Uzbekistan pasca kemerdekaannya pada 31 Agustus 1991. Bahkan, kisah kunjungan Bung Karno ke Uni Soviet, yang melibatkan pertemuannya dengan Presiden Uzbekistan, pernah menjadi berita utama di surat kabar Uzbekistan.
Secara ekonomi, kerjasama antara kedua negara terus berkembang, salah satunya melalui penerbangan langsung Jakarta-Tashkent. Beberapa representasi Indonesia di Uzbekistan juga semakin menonjol, seperti produk makanan populer Indomie, kopi Torabika, serta bus-bus bertuliskan Wonderful Indonesia yang kerap terlihat di jalanan Uzbekistan. Selain itu, buah-buahan asal Indonesia, seperti manggis dan pepaya, kini telah ditanam di Kota Kokand, memperkuat hubungan ekonomi dan budaya antara kedua negara.
Mufti juga menyoroti bahwa Uzbekistan, meski mayoritas penduduknya beragama Islam dengan mazhab Hanafi (93%), adalah negara yang menerapkan sistem sekuler. Pemerintah Uzbekistan menyerahkan urusan agama kepada masyarakat, melainkan tetap memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan beragama. Dalam aspek lingkungan, Laut Aral yang dahulu merupakan sumber kehidupan, kini telah menjadi gurun, menjadi tantangan besar bagi negara tersebut.
Uzbekistan memiliki karakteristik budaya yang unik. Sebagai contoh, pohon tahun baru yang mirip dengan pohon Natal, diiringi oleh “Kakek Salju” yang menggantikan figur Sinterklas, menjadi simbol perayaan tahun baru. Dari segi kuliner, hidangan khas Uzbekistan, Plov atau Osh, yang mirip dengan nasi goreng Indonesia, menjadi favorit di negara tersebut, meski disajikan dengan bahan berbeda seperti sosis kuda.
Mufti juga menggambarkan karakteristik masyarakat Uzbekistan sebagai bangsa yang memiliki nasionalisme tinggi, dengan tradisi menghormati orang tua dan kejujuran yang kuat. Masyarakat Uzbekistan juga dikenal berani keluar dari zona nyaman dan memiliki minat yang tinggi terhadap pembelajaran, termasuk dalam mempelajari bahasa asing seperti bahasa Inggris. Meski sekuler, masyarakat Uzbekistan tetap menunjukkan sikap religius yang kuat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal pendidikan, hubungan Indonesia dan Uzbekistan semakin erat. Tiga universitas di Uzbekistan telah memasukkan bahasa Indonesia ke dalam kurikulumnya, dan seni bela diri pencak silat juga mulai populer di kalangan masyarakat Uzbekistan, membuka jalan bagi lebih banyak pertukaran budaya di masa depan.
Namun, tantangan masih ada, terutama dalam hal birokrasi yang ketat terkait perpajakan dan registrasi orang asing di Uzbekistan. Keterbatasan penggunaan bahasa Inggris di kalangan penduduk juga menjadi salah satu kendala dalam memperluas kerjasama internasional. Meski demikian, banyak organisasi dan lembaga di kedua negara telah menciptakan berbagai nota kesepahaman (MoU), meskipun dampaknya belum sepenuhnya terasa.
“Belajar bahasa adalah kunci untuk memperluas pandangan dan pemikiran,” ujar Mufti Rakadia. Ia menekankan bahwa menguasai berbagai bahasa, meski tidak secara sempurna, dapat membuka peluang yang lebih luas dalam jaringan internasional, terutama dalam era globalisasi ini. (*)