MALANG, Berifakta.com – Bahasa merupakan perantara esensial dalam interaksi antar individu maupun kelompok dari latar budaya yang berbeda. Urgensi aspek kebahasaan ini menjadi semakin krusial dalam lingkup multikultural seperti Eurasia, sebuah kawasan strategis yang menghubungkan Eropa dan Asia dan telah menjadi pusat perdagangan serta interaksi global sejak era Jalur Sutra hingga proyek Belt and Road Initiative saat ini.
Menjawab tantangan tersebut, Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berkolaborasi dengan Eurasia Foundation untuk menyelenggarakan kelas Multikulturalisme di Asia. Kelas bertajuk “The Education of Foreign Language and Intercultural Understanding” ini menghadirkan Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Dianni Risda, S.Pd., M.Ed., sebagai pemateri utama.
Dalam pemaparannya, Dianni menekankan bahwa ketidakpahaman terhadap konteks budaya dalam berinteraksi dapat menimbulkan prasangka yang berujung pada konflik. “Sebagai bagian dari sivitas akademika, hal yang wajib kita lakukan ialah memperluas wawasan, membuka hati agar bersikap toleran, dan tidak menjadikan budaya sendiri sebagai sebuah patokan,” tegasnya.
Pernyataan ini sangat relevan dalam konteks Hubungan Internasional, di mana keragaman bahasa berperan sebagai jembatan diplomasi, negosiasi politik, dan kerja sama global. Menurut Dianni, penguasaan bahasa dan budaya memungkinkan negara untuk membangun saling pengertian (mutual understanding), menghindari konflik akibat salah tafsir, serta memperkuat soft power, yakni kemampuan memengaruhi negara lain melalui daya tarik budaya dan nilai.
Lebih dari sekadar alat komunikasi, bahasa adalah jendela untuk memahami jiwa dan karakter suatu bangsa. “Mempelajari bahasa tidak hanya tentang memahami kata dan tata bahasa, namun juga tentang menyelami cara berpikir, nilai-nilai, dan emosi masyarakat penuturnya,” ungkap Dianni. Setiap bahasa, lanjutnya, mencerminkan pandangan hidup, cara mengekspresikan sopan santun, hingga cara menghargai waktu.
Ia mencontohkan bagaimana misinterpretasi sering terjadi ketika komunikasi hanya berfokus pada aspek gramatikal tanpa menanamkan nilai budaya. Perbedaan antara bahasa Jepang dan Indonesia dalam menyampaikan penolakan menjadi contoh nyata.
“Dalam budaya Jepang, penolakan sering disampaikan secara tidak langsung, misalnya dengan ungkapan「考えておきます」(kangaete okimasu) yang secara harfiah berarti ‘akan saya pikirkan dulu’, namun secara budaya bermakna ‘tidak’. Ini dilakukan untuk menjaga keharmonisan. Sementara itu, masyarakat Indonesia cenderung lebih langsung, namun tetap menjaga kesopanan,” jelasnya.
Pada akhirnya, Dianni menyimpulkan bahwa di era modern yang menuntut kemampuan berpikir kritis, kreatif, berkomunikasi, dan berkolaborasi, keterampilan bahasa menjadi fondasi daya saing global. Dengan memahami aspek kebahasaan dan nilai-nilai budaya bangsa lain, keanekaragaman di Asia dapat diubah menjadi kekuatan tak terduga melalui komunikasi lintas budaya yang efektif. (*)

