MALANG, Berifakta.com – Industri hiburan Korea Selatan telah mengalami transformasi dramatis dalam cara menggambarkan Korea Utara, bergerak dari stereotip musuh satu dimensi menjadi representasi yang lebih kompleks dan berempati, khususnya memasuki abad ke-21. Demikian disampaikan oleh Stephen Epstein, profesor sosiologi dari Victoria University of Wellington, dalam kelas Kajian Kawasan dalam Hubungan Internasional.
Pergeseran signifikan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Kebijakan Sunshine era yang mendorong dialog dengan Korea Utara, ditambah dengan meningkatnya pengaruh Korean Wave dan teknologi digital, telah membentuk cara kreator konten Korea Selatan memandang tetangga utara mereka. “Dulu, media Korea Selatan sering menggambarkan mata-mata Korea Utara sebagai karakter yang secara inheren jahat, namun dengan kebijakan Sunshine, film-film mulai mengadopsi pendekatan yang lebih ringan, ironis, bahkan farsial terhadap Korea Utara,” jelas Epstein dalam kuliah yang merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang turut didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea.
Meningkatnya jumlah defector Korea Utara yang tiba di Korea Selatan, terutama perempuan, telah memberikan dampak nyata terhadap budaya populer. Program televisi seperti “Now on My Way to Meet You” awalnya menampilkan humor dan pertunjukan, namun secara bertahap bertransisi ke narasi yang lebih tragis tentang pelarian dan kesulitan hidup. Kehadiran para defector ini memberikan perspektif baru yang lebih personal dan manusiawi tentang realitas kehidupan di Korea Utara.
Industri perfilman Korea Selatan awal 2010-an memperkenalkan tren baru yang menarik dimana mata-mata Korea Utara digambarkan sebagai pria tampan, berani, patriotik, dan multilingual elite fighter. Film-film ini mengikuti pola umum di mana operatif Korea Utara menyamar di Selatan dan akhirnya membentuk kemitraan yang canggung dengan petugas intelijen Korea Selatan. Tema yang muncul mencakup konflik Utara versus Utara daripada Utara versus Selatan, dimana karakter Korea Utara “baik” berhadapan dengan rekan sebangsanya yang “jahat”, sementara Korea Selatan sering bertindak sebagai penonton.
Pergeseran fokus dari bangsa ke keluarga juga terlihat jelas, meskipun kepentingan kolektif masih mengalahkan individu. Anggota keluarga sering dijadikan sandera oleh negara, menciptakan dilema moral yang kompleks bagi karakter utama. Fenomena “pria Utara sebagai pria tampan” atau yang dikenal dengan istilah “북남미남” menunjukkan bagaimana karakter pria Korea Utara sering digambarkan seperti idola pop, menarik bagi kondisi pasar baru dan logika geopolitik, sementara perempuan Korea Utara relatif tidak hadir atau terikat pada pria Korea Utara.
Salah satu aspek menarik dari tren ini adalah bagaimana film-film tersebut menawarkan pandangan Korea Utara terhadap masyarakat Korea Selatan, menciptakan “keterasingan kognitif” dengan melihat masyarakat Korea Selatan melalui lensa Korea Utara. Penggambaran ini mengkritik elemen seperti korupsi dan dekadensi konsumeris sambil juga menghargai kemakmuran dan keberagaman.
Dengan bangkitnya platform streaming seperti Netflix, konten Korea Selatan mencapai audiens internasional baru. “Crash Landing on You” menjadi fenomena global dengan penggambaran detail Korea Utara dalam kerangka komedi romantis. Drama ini mengontraskan sosialisme dan kapitalisme, kesederhanaan dan kecanggihan, serta militarisme dan konsumerisme, sambil menyoroti sifat komplementer protagonisnya. Serial ini mengidealkan maskulinitas Korea Utara dan memanfaatkan daya tarik selebriti Korea Selatan, secara efektif mengubah Korea Utara menjadi komoditas global untuk keuntungan Korea Selatan.
Penerimaan terhadap “Crash Landing on You” bervariasi di berbagai kalangan. Beberapa partai politik domestik mengkritik glamorisasi Korea Utara, sementara defector Korea Utara umumnya memberikan umpan balik positif tentang keasliannya, meskipun ada beberapa kritik terhadap elemen yang dianggap tidak realistis. Secara internasional, kesuksesan acara di Netflix telah memperkenalkan penonton global pada imajinasi domestik Korea Selatan tentang Korea Utara dan menumbuhkan keterbukaan terhadap ide bahwa masyarakat yang berbeda, termasuk Korea Utara, terdiri dari individu-individu yang beragam.
Budaya populer Korea Selatan terus beradaptasi dalam penggambaran Korea Utara sebagai respons terhadap perubahan keadaan geopolitik dan perkembangan media. Melalui elemen-elemen kompleks ini, industri hiburan Korea Selatan membentuk pemahaman tentang tetangganya, menciptakan narasi yang lebih manusiawi dan bernuansa dibandingkan stereotype masa lalu. “Transformasi ini mencerminkan tidak hanya perubahan dalam lanskap media, tetapi juga evolusi dalam cara Korea Selatan melihat hubungannya dengan Korea Utara, dari musuh yang ditakuti menjadi bangsa yang dipahami sebagai kumpulan individu dengan kompleksitas manusiawi yang layak untuk dipahami dan dihormati,” pungkas Epstein. (*)