MALANG, Berifakta.com – Praktik adopsi internasional Korea Selatan yang telah mengirim 200.000 anak ke Amerika Serikat dan negara-negara lain selama beberapa dekade ternyata menyimpan skandal besar berupa pemalsuan identitas dan rekam medis. Hal ini terungkap dalam bedah film dokumenter “South Korea’s Adoption Reckoning” yang dipandu oleh Shannaz Mutiara Deniar, M.A., dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Acara bedah film yang diselenggarakan di Laboratorium Hubungan Internasional UMM ini merupakan bagian dari kelas Kajian Kawasan dalam Hubungan Internasional, hasil kerja sama dengan University of Auckland’s Strategic Research Institute (SRI) for Korean Studies yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Republik Korea. Film dokumenter produksi Associated Press dan FRONTLINE ini mengungkap kasus-kasus identitas palsu dan latar belakang yang difabrikasi selama boom adopsi historis anak-anak Korea.
“Dokumenter ini membuka mata kita tentang bagaimana sistem adopsi yang seharusnya melindungi kepentingan terbaik anak justru menjadi industri yang mengutamakan kuantitas daripada kualitas prosedur,” ungkap Shannaz saat memulai sesi bedah film. Menurutnya, praktik ini tidak hanya merugikan anak-anak yang diadopsi, melainkan juga keluarga biologis mereka yang kehilangan jejak keturunan.
Film ini menampilkan wawancara dengan anak-anak adopsi, mantan pekerja sosial Korea, mantan anggota parlemen, organisasi berbasis Korea, peneliti, dan whistleblower, dilengkapi dengan rekaman historis, dekrit, dan kliping koran yang mendokumentasikan asal-usul dan pembentukan adopsi di Korea. Dokumenter ini menekankan bahwa adopsi bukan hanya masalah anak adopsi, namun juga memengaruhi orang Korea, anak adopsi, dan bahkan negara lain dengan sistem adopsi serupa.
Shannaz menjelaskan bahwa praktik adopsi massal ini dimulai setelah Perang Korea sebagai bagian dari kebijakan rekonstruksi negara. Namun, seiring berjalannya waktu, adopsi berubah menjadi semacam “diplomasi bayi” untuk memenuhi permintaan Barat. “Korea Selatan menyesuaikan undang-undangnya untuk mencocokkan dengan undang-undang Amerika guna membuat anak-anak dapat diadopsi, bahkan mengizinkan ‘adopsi proksi’ untuk keluarga yang tidak pernah bertemu dengan anak yang akan mereka adopsi,” jelasnya.
Salah satu aspek yang paling mengejutkan dari dokumenter ini adalah testimoni dari mantan pekerja lembaga adopsi yang mengungkapkan tekanan untuk mengirim anak dalam jumlah besar. Seorang mantan pekerja lembaga adopsi Korea menggambarkan tekanan untuk mengadopsi anak dalam volume besar, seringkali dengan mengabaikan prosedur verifikasi yang seharusnya dilakukan.
Dampak dari sistem yang cacat ini sangat mendalam bagi para korban. Banyak anak adopsi yang kini telah dewasa mengalami krisis identitas karena informasi yang mereka terima tentang latar belakang mereka ternyata palsu. Mereka kesulitan melacak keluarga biologis mereka, bahkan ada yang menemukan bahwa mereka sebenarnya bukan yatim piatu seperti yang tertulis dalam dokumen adopsi.
“Dokumenter ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem adopsi internasional,” tegas Shannaz. “Korea Selatan kini menghadapi ‘perhitungan adopsi’ mereka, dimana mereka harus mengakui kesalahan masa lalu dan memberikan keadilan bagi para korban.”
Film yang dirilis pada September 2024 ini juga mengangkat isu yang lebih luas tentang bagaimana krisis ekonomi dan sosial dapat dieksploitasi oleh sistem internasional yang tidak adil. Praktik serupa tidak hanya terjadi di Korea Selatan, namun juga di negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa seperti perang, kelaparan, dan pergolakan ekonomi.
Menurut Shannaz, kasus adopsi Korea Selatan ini memberikan pelajaran penting bagi komunitas internasional tentang perlunya reformasi dalam sistem adopsi internasional. “Kita perlu memastikan bahwa kepentingan terbaik anak benar-benar menjadi prioritas utama, bukan kepentingan ekonomi atau diplomatik negara,” pungkasnya.
Bedah film ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa HI tentang kompleksitas isu-isu kemanusiaan dalam hubungan internasional dan pentingnya pendekatan yang berpusat pada korban dalam menangani pelanggaran hak asasi manusia sistemik. (*)