MALANG, Berifakta.com – “Teroris Indonesia memiliki paham yang lebih ekstrem dibandingkan rekan-rekan mereka di Timur Tengah.” Pernyataan mengejutkan ini disampaikan oleh Wildan, seorang mantan teroris, dalam diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) untuk kebutuhan Penelitian Fundamental – Reguler: Penelitian Kompetitif Nasional yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Penelitian tersebut bertajuk “Model Comprehensive Collaboration: Deradikalisasi Mantan Teroris di Jawa Timur Melalui Pendekatan Sosial dan Ekonomi“. Studi ini dipimpin oleh tim peneliti yang terdiri dari Prof. Gonda Yumitro, Ph.D, Dr. Rizki Febriani, M.M, dan Ali Roziqin, M.PA.
FGD yang berlangsung di Laboratorium Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Sabtu, 21 September 2024 tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, antara lain Dr. Zulfi Mubarok, M. Ag selaku peneliti kajian terorisme. Dr. Eddy Priyanto selaku peneliti Badan Peelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Malang, Dr. Yudi Setianto selaku peneliti kajian terorisme, serta perwakilan Polresta Malang, Ipda Lubis Ibroril Chosam.
Dalam FGD tersebut, para peserta mendalami berbagai aspek yang berkaitan dengan deradikalisasi dan reintegrasi mantan teroris ke dalam masyarakat. Prof. Gonda Yumitro, selaku Ketua Tim Peneliti sekaligus penyelenggara, menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam menangani masalah radikalisme. “Kita harus melihat ini tidak hanya sebagai masalah keamanan, melainkan juga sebagai masalah sosial dan ekonomi,” ujar Prof. Gonda.
Diskusi menyoroti berbagai program yang telah dilakukan dan mengidentifikasi tantangan serta peluang yang ada. Salah satu program yang menjadi fokus adalah inisiatif pembinaan kembali melalui pelatihan keterampilan dan pendidikan, yang dirancang untuk memberikan mantan teroris kesempatan kedua dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Stigma dari masyarakat seringkali menjadi beban sosial yang dihadapi oleh para mantan teroris.
Wildan, sebagai mantan teroris yang sekarang berperan aktif dalam program deradikalisasi, membagikan pengalamannya. “Perubahan paling signifikan yang saya rasakan adalah bagaimana saya diterima kembali oleh masyarakat dan mendapatkan kesempatan untuk bekerja secara wajar seperti warga negara yang lain,” tutur Wildan. Ia juga menambahkan bahwa dukungan psikososial terbukti efektif dalam membantu mantan teroris beradaptasi kembali dengan kehidupan masyarakat.
Ipda Lubis Ibroril Chosam, dari Polresta Malang, menambahkan bahwa kerjasama antara pihak kepolisian dengan lembaga penelitian dan komunitas lokal sangat krusial. “Kolaborasi ini penting untuk memonitoring dan mengevaluasi efektivitas program deradikalisasi, serta mengantisipasi munculnya radikalisme baru,” jelas Ipda Lubis.
FGD ini berakhir dengan kesepakatan untuk meningkatkan kerjasama antar stakeholder dan memperkuat jaringan informasi guna mewujudkan masyarakat yang lebih aman dan inklusif. Prof. Gonda Yumitro menyatakan bahwa hasil FGD akan diintegrasikan menjadi grand design policy brief tentang penganggulangan terorisme.
Dengan mendekati masalah deradikalisasi tidak hanya dari segi penindakan, melainkan juga pencegahan dan reintegrasi, diharapkan upaya-upaya ini akan berkontribusi pada penurunan kegiatan radikal di Indonesia sekaligus penghapusan stigma negatif terhadap para mantan teroris. (*)