Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menghadirkan Dr. Ali Fauzi Manzi, Direktur Lingkar Perdamaian Indonesia yang juga merupakan saudara kandung dari bomber Bom Bali, Ali Imron, untuk membedah dinamika radikalisasi-terorisme di Indonesia serta strategi pencegahannya. Berangkat dari pengalaman lapangan, ia menegaskan bahwa terorisme tidak lahir dari keputusan sesaat, melainkan melalui proses panjang yang membentuk komitmen pada kekerasan atas nama agama.
Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Di kelas yang bertajuk “Multiculturalism to Counter Terrorism: Lessons from Indonesia” ini, Ali Fauzi mengawali dengan mengingatkan bahwa ajaran Islam menempatkan rahmatan lil-alamin sebagai fondasi: memuliakan perdamaian, keramahan, dan kebebasan memilih. Namun, realitas sosial memperlihatkan munculnya tafsir keagamaan yang fundamental dan radikal hingga berujung pada praktik teror—termasuk aksi bom bunuh diri—yang sebagian pelakunya menganggap sebagai “kebaikan” yang menjamin surga. Riset lapangan menunjukkan pelaku bukan orang dengan gangguan jiwa, melainkan mereka yang terpapar paham takfiri—cara pandang hitam-putih yang memecah dunia pada “haq” versus “batil.”
Ia memaparkan faktor pendorong (push) dan penarik (pull) yang mengantar seseorang bergabung dengan jaringan ekstrem, dari pertemanan dan kekerabatan, yang menurut temuan Marc Sageman mencapai sekitar 90 persen, hingga paparan bahan bacaan dan aktivitas luring (ta’lim, halaqah, pelatihan) serta arus konten daring di media sosial.
Di Indonesia, faktor dominan meliputi pemahaman keagamaan yang menyimpang, kekecewaan pada negara, pengaruh gerakan global, hingga kebencian pada penguasa. “Secara fisik sulit dibedakan. Identifikasi yang benar adalah lewat cara berpikirnya,” tegasnya, seraya menyoroti ciri-ciri ideologis seperti baiat pada imam, intoleransi, fanatisme revolusioner, kewajiban mendirikan negara Islam, jihad sebagai fardhu ‘ain, dan pelabelan Indonesia sebagai darul harbi oleh kelompok ekstrem.
Menurutnya, ekosistem radikal bertahan karena memberikan dua jenis dukungan kepada anggota: dukungan moral (ideologi, jejaring persaudaraan) dan dukungan material (pendidikan, pekerjaan, bantuan kesehatan). Karena itu, deradikalisasi tak cukup dengan pendekatan tunggal dan tidak bisa instan; dibutuhkan komunitas tandingan yang menawarkan dukungan serupa, namun berlandaskan cinta negara, kedekatan dengan aparat keamanan, toleransi, dan Islam yang ramah. “Akar terorisme itu ‘penyakit komplikasi’—butuh banyak spesialis dan obat tepat. Kuncinya menumbuhkan pemahaman moderat dan menghargai kemajemukan,” ujarnya, menambahkan bahwa penerimaan terhadap perbedaan suku, agama, bahasa, budaya, dan tradisi merupakan indikator penting kesembuhan bagi mantan pelaku.
Penekanan pada toleransi, inklusivitas, dan keadilan sosial dalam pencegahan radikalisasi juga selaras dengan penguatan wawasan kewarganegaraan dan multikulturalisme. Keduanya menegaskan pentingnya menghadirkan kewarganegaraan sebagai pengalaman hidup—akses layanan dasar, pekerjaan layak, serta ruang partisipasi yang aman—di tengah mobilitas global dan masyarakat yang kian majemuk.
Dengan kerangka itu, sesi bersama Dr. Ali Fauzi tidak hanya mengajak peserta memahami bagaimana radikalisasi bekerja, namun juga bagaimana kampus dan masyarakat dapat membangun daya tangkal: memperkuat literasi keagamaan yang moderat, menciptakan jejaring dukungan sosial-ekonomi yang inklusif, serta menumbuhkan budaya yang merangkul perbedaan. (*)

