MALANG, Berifakta.com – Dalam kelas Multikulturalisme di Asia yang bertemakan “Multiculturalism in Malaysia: Experiences, Challenges, and Future Prospects”, Assoc. Prof. Dr. Suyatno Ladiqi, M.A., Ph.D. dari Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA), Malaysia, mengulas bagaimana perbedaan budaya di Malaysia, terutama di antara komunitas Melayu, Tionghoa, dan India; mewarnai kehidupan sosial warganya.
Kelas ini merupakan hasil kerja sama Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dengan Eurasia Foundation.
Suyatno, sapaan akrabnya, menekankan bahwa interaksi antarkelompok merupakan kunci menjaga keharmonisan sosial di tengah keberagaman yang tinggi. “Keberagaman di Malaysia adalah kondisi sosial yang saya hadapi sehari-hari. Tantangannya bukan sekadar merayakan perbedaan, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa mengelolanya agar menjadi kekuatan sosial,” ujar Suyatno.
Meski demikian, relasi antaretnis belum sepenuhnya mulus. Salah satu hambatan yang disorot adalah kecenderungan sebagian masyarakat untuk lebih banyak bergaul di dalam kelompok etnisnya sendiri. “Ketika ruang sosial makin terkotak-kotakkan oleh identitas, sekat-sekat itu menyempitkan kesempatan bertemu, berdialog, dan berkolaborasi lintas etnis,” jelasnya. Menurutnya, kondisi ini membatasi kemungkinan asimilasi atau pembauran budaya yang sehat dan setara.
Suyatno juga menyinggung dinamika perbandingan dengan Indonesia. “Dibandingkan Indonesia yang dalam banyak kasus menunjukkan pertemuan lebih cair di ruang publik, Malaysia masih bergulat dengan ruang-ruang interaksi yang terpisah,” katanya. Ia menilai pengalaman historis, kebijakan pendidikan, hingga ekologi perkotaan turut membentuk pola pergaulan yang cenderung homogen.
Di sisi lain, faktor kesenjangan ekonomi juga ikut memengaruhi kualitas interaksi antaretnis. Walaupun ketimpangan di Malaysia relatif lebih moderat dibandingkan Indonesia, perbedaan akses dan peluang antar kelompok etnis tetap terasa. “Ketimpangan ekonomi, meskipun tidak ekstrem, tetap dapat memicu rasa ketidakadilan. Itu sebabnya pemerataan akses terhadap pendidikan, pekerjaan layak, dan layanan publik harus menjadi prioritas,” tegas Suyatno.
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah Malaysia mengusung berbagai kebijakan yang mendorong persatuan dan saling pengertian, salah satunya melalui inisiatif polarisasi pendidikan untuk mengurangi jarak sosial lewat dunia pendidikan. Program ini diharapkan membuka lebih banyak ruang perjumpaan lintas latar, mengikis stereotip, dan menumbuhkan empati sejak dini. “Sekolah dan kampus adalah laboratorium kewarganegaraan. Makin sering siswa dari beragam latar bertemu dan belajar bersama, makin besar peluang tumbuhnya rasa saling menghormati,” terang Suyatno.
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia dan Malaysia sejatinya bisa saling belajar, bahwa Indonesia dapat mengadopsi pendekatan kebijakan pendidikan yang lebih terarah seperti di Malaysia, sementara Malaysia dapat menimba praktik keterbukaan ruang publik Indonesia yang mendorong pergaulan antaretnis menjadi lebih cair.
Ia menutup dengan penekanan bahwa masa depan multikulturalisme di Malaysia memerlukan sinergi negara dan masyarakat. “Kebijakan yang baik butuh partisipasi warga. Dengan regulasi yang inklusif, praktik pendidikan yang membuka ruang perjumpaan, serta komitmen komunitas, keragaman dapat bergerak ke arah yang lebih positif dan adil,” pungkasnya. (*)

